Pemilu 2014 sudah di depan mata.
Suhu panas tahun politik 2014 terasa sejak tahun 2013 dengan menyeruaknya
isu-isu kegaduhan dalam tubuh parpol. Akibatnya tak jarang elit politik yang
akan maju sebagai capres menuai kontroversi pro dan kontra di kalangan
masyarakat. Menurut Wimar Witoelar menyatakan bahwa pemilihan dalam pemilu sebelumnya, ada 43%
suara yang tidak menentukan pilihannya, sementara partai pemenang pemilu hanya meraih 33%.
Kita melihat beberapa capres
antusias melakukan pendekatan kepada masyarakat demi merebut suara terbanyak.
Misalnya yang dilakukan oleh Abu Rizal Bakri sebagai capres dari partai Golkar
jauh-jauh hari unjuk gigi di media-media, baik dengan bantuan sembako maupun
pidato-pidato Islaminya. Masyarakat tidak mampu menerka-nerka siapa yang
berhasil meraih suara terbanyak pada tanggal 9 April nanti. Sehingga Ketua
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Husni Malik, mengimbau kepada seluruh lapisan
masyarakat untuk turut serta berpartisipasi dalam pemilu 2014, agar terpilihnya
pemimpin yang bisa membawa Indonesia menuju gerbang kejayaan.
Di sisi lain, masyarakat
sepertinya acuh tak acuh dengan imbauan-imbauan yang ada. Ada perubahan dari
taraf berpikir oleh masyarakat. Mereka
belajar dari pemilihan yang lalu, rata-rata elit-elit politik sekedar berjanji
manis sebelum meraih kursi pemilu, kemudian setelahnya mereka seakan lupa
dengan rakyat yang memilihnya.
Persaingan tidak sehat antar calon-calon yang akan dipilih menorehkan
kebingungan di tengah-tengah masyarakat. Bahkan tak jarang berimbas pada
kericuhan atau perang saudara karena tidak satu suara. Layaknya tradisi pemilu
berulang kembali. Meraih suara dengan mengandalkan pidato-pidato dan
bantuan-bantuan material menunjukkan para elit politik tidak kreatif dalam
kampanye. Masyarakat bukanlah anak kecil yang gampang dibodoh-bodohi. Mereka
yang tetap memilih bisa saja berkhianat, siapa yang memberi bantuan paling
banyak maka itulah yang dipilih. Beda halnya yang memilih golput, mereka pada
dasarnya sudah bosan dan penak dengan omong kosong para elit politik. Ada juga
yang golput karena mereka paham atas efek buruk dari ikut andil memilih
orang-orang tidak becus dalam memegang tampuk kekuasaan. Apatah lagi
capres-capres yang akan maju sepertinya rata-rata pernah melukis kasus buram di
era perpolitikan Indonesia.
Perubahan yang kita harapkan
adalah perubahan yang sifatnya jangka panjang. Hal demikian mustahil terwujud
jika sistem ketatanegaraan menggunakan konsep itu-itu saja. Sehingga perlu ada
terobosan baru mewujudkan Indonesia sejahtera. Bisa kita katakan harus ada
revolusi sistem.
Liburan kampus diwarnai aksi
mudik para mahasiswa. Mendadak kendaraan-kendaraan umum penghubung antar kota
disesaki oleh penumpang yang notabene mahasiswa. Antusias mereka menapaki pintu
gerbang tanah kelahiran terpancar dari hati yang selalu merindu. Tidak
ketinggalan Melani salah satu penghuni kampus di sebuah kota metropolitan,
berebut antrian tiket kapal laut dengan para fans tiket promo. Baginya berlama-lama
di kampung tercinta membuat hati damai dan otak fress dibanding di kampus bagai
terkungkung dalam penjara. Dia cukup dikenal oleh teman-teman sekelasnya rajin
pulang kampung, hingga ia pernah mandapat julukan ratu PULKAM (Pulang kampung).
“Ibu...bu....bu... Melani datang”.
Teriaknya sambil menyusuri anak-anak tangga dari bagian depan rumah.
“Iya nak ibu di dapur, lansung
saja ke sini nak”. Suara ibu terdengar dari pojok rumah.
“hmmm... masakan ibu
enak........sekali jadi laper”. Pujian Melani saat merangkul tubuh ibunya.
“Ibu kan tau anakku pasti lapar
setelah berjuang berjam-jam di perjalanan”. Ibu mencoba membalas pujian anaknya
yang sementara melahab makanan di atas meja.
Pagi-pagi melani dan ibunya
meninggalkan rumah menuju kebun yang berada di perbatasan kampung sebelah.
Mereka menempuh perjalanan dengan jalan kaki. Tradisi bagi Melani ketika pulang
kampung mengisi kekosongan waktu dengan menggarap rezeki di kebun miliknya.
Menyantap bungkusan makanan dalam rantang khas petani terasa nikmat tak tertandingi,
meskipun hanya berteman daun kelor dan ikan kering berpoleskan cabe rawit.
Datangnya mentari di atas 90o tak mengurungkan semangatnya berjemur
di tengah padang rumput yang mulai gersang sebab musim kemarau.
“Nak, ayo makan dulu, setelah itu
baru kita shalat berjamaah”. Ajak Ibu melani dengan nada maha lembut
mengisyaratkan cinta pada buah hatinya.
“Iya bu, sebentar... saya
bereskan dulu rumput-rumput ini”. Tutur Melani. Dia tampak begitu giat
menyelesaikan pekerjaannya. Seakan tak ada rasa lapar baginya ketika berhadapan
dengan keseriusan. Apalagi ia tau betul Ibunya tinggal seorang diri saat
ketiadaannya meramaikan suasana rumah.
Waktu berjalan cepat, ruang
kampus yang senyap memanggil-manggil penghuninya untuk kembali lagi. Melani
sungguh tak ikhlas harus meninggalkan ibunya demi menimba ilmu di kota. Namun,
ibunya ternyata mampu membakarjiwa anak
gadisnya untuk kembali lagi ke dunia kampus. Ia sungguh beruntung memiliki ibu
yang sangat perhatian dengan masa depannya. Meskipun ia sangat jarang
mempersoalkan hal demikian, namun setidaknya ia telah menggantungkan
cita-citanya setinggi langit bahwa ia akan menjadi seorang Ilmuan Muslim.
“Baik-baik yach nak di kampus,
belajar yang sunguh-sungguh!”. Pesan Ibunya.
“Iya bu, Insya Allah jika ada
libur saya akan datang lagi, bu”. Jawabnya dengan mata berkaca-kaca hampir
meteskan butiran-butiran air. Ia tak bisa menahan tangisan setiap kali melihat
ibunya melambaikan tangan di bibir dermaga pelabuhan dengan senyuman khas.
Selama dua hari terombang-ambing
di atas kapal sempat membuat ia menangis terisak-isak. Ia terus melawan rasa
cengengnya dengan memandangi pristiwa keindahan laut di pagi hari. Deras arus
ombak menghempas batu karang bagai dirinya yang terpaksa menghadapi kerasnya
hidup di kota. Ulah lumba-lumba lucu jingkrak-jingkrak di samping kapal bagai
dirinya yang senantiasa ingin selalu berada di samping ibunya. Gerombolan
bangao mengintai kapal dari kejauhan bagai teman-teman kampusnya yang bersorak
memanggilnya kembali. Sementara pancaran sinar matahari membentang di laut
lepas bagai masa depan cerah yang ia akan kunjungi. Semuanya seakan bersinergi
menjadi satu hingga hati Melani yang rapuh terombang-ambing di ambang dilema.
Proses belajar mengajar di kampus
berjalan seperti biasanya. Melani tetap saja murung di kelas, lebih parah dari
hari-hari sebelumnya ketika habis pulang kampung. Kali ini ia malas ngomong
sama teman-temannya. Wajahnya pucat, ia tampak tak bergairah untuk menerima
pelajaran.
“Hei murung aja, boleh tau ada
apa?”. Tanya Jeny teman duduknya di kelas, menepuk bahu Melani bermaksud untuk
mengagetkannya.
“Melani... melani...melani, bangun,
dosen udah datang tuch”. Jeny berusaha membangunkan Melani yang terkapar di
atas mejanya. Melani tak jua menunjukkan reaksi apa-apa. Tubuhnya yang kurus
tiba-tiba jatuh ke lantai sampai menggemparkan seisi ruangan.
“Pak..pak.. Melani pingsan”.
Bersorak semua teman-temannya bergantian meyakinkan dosennya.
“Ya sudah,empat orang saja tolong
bawa Melani pulang, yang lain tetap fokus di sini!”. Tegas Dosen Kesehatan
Lingkungan, sembari memperbaiki slide Power pointnya yang diotak atik oleh
virus.
Empat teman sekelasnya yang
memborong tubuhnya kembali ke kosan khawatir meninggalkannya sendirian dengan
tubuh yang masih lemas tak berdaya. Termasuk Jeny mahasiswi jawara kampus
sepertinya telah menjadikan sesosok Melani sebagai adik kandungnya sendiri,
meskipun ia hanya jenjang beberapai hari dari usia Melani. Segumpal jahe hangat
Jeny tambalkan ke dahi Melani agar siuman dari tidur panjangnya. Suasana senyap
kos-kosan masih terasa sebab sebagian penghuninya masih terlena di kampung.
“Hmmm.... apa yang terjadi
denganku?”. Tanya Melani ketika siuman setelah pingsan selama dua jam. Ia
mengepal-ngepal kepalanya yang masih terbaluti kain kerudung.
“Kamu baik-baik saja Melani?”.
Tanya balik Jeny, sambil membereskan sebongkah kain yang berserakan di atas
ranjang.
“Aku baik-baik aja Jeny, maaf
merepotkanmu”. Tutur Melani dengan suaranya agak serak. Ia bergegas bangun dari
tempat tidur untuk membantu Jeny membereskan kamarnya yang tak sempat ia
bersihkan sebelum berangkat ke kampus.
Melani memendam malu tampak rapuh
di hadapan teman-temannya. Ia berupaya tak mengulangi kejadian itu. Berbagai
kesibukan dilakukannya demi mengimbangi perasaan rindunya kembali ke kampung.
Tak seperti biasanya jadwal Melani seketika full dalam seharian. Terkadang ia
lupa mengawasi kesehatannya termasuk mengatur pola makan setiap hari
sebagaimana yang selalu dipesankan oleh ibunya. Apalagi di tengah-tengah
kesibukannya di dunia Akademik, muncul tawaran-tawaran bekerja di waktu-waktu
kosong kuliah. Tentunya ia sangat girang menerima tawaran itu, pikirnya ia tak
mesti lagi merengek-rengek minta ongkos hidup kepada ibunya. Ia akan mulai
hidup mandiri, sebab ia sadar bahwa dirinya bukan lagi anak kecil yang menunggu
disuapi. Di sela-sela libur kuliah dan kerja, biasanya ia gunakan buat
jalan-jalan dengan Jeny ke pantai yang tak jauh dari pusat kota.
“Sepertinya ada yang berubah
nich”. Ucap Jeny mencoba memancing Melani berkisah.
“Begitulah hidup Jen, mesti
memang ada yang berubah”. Jawab Melani dengan singkat. Ia berusaha menghindari
gerombolan ombak yang menghempas roknya. Rasa bahagia terpancar dari hatinya
yang mencoba menyatu dengan keindahan pantai.
“Kemungkinan aku mengurangi porsi
pulang kampungku, aku ingin belajar hidup lama di kota”. Lanjut Melani sambil
mengedipkan mata kepada Jeny.
Mereka seolah lupa dengan waktu
selama bermain-main dengan ombak. Azan dhuhur, azan Ashar berlalu tanpa mereka
indahkan. Tak jarang mereka habiskan waktu 16 jam di luar. Ada apa dengan
Melaniku?.
“Assalamu alaikum, Mel kapan
pulang nak? Ibu kangen, hampir satu tahun Mel enggak pulang-pulang, Mel
sibuk?”. Tanya Ibu dari balik Hp dengan suara penuh rindu.
“Maafkan saya bu, bukannya Melani
tak mau pulang-pulang hanya saja Melani udah berjanji tidak akan balik-balik ke
kampung sebelum Melani mendapat gelar sarjana. Sejujurnya Melani juga malu-malu
bu dengan teman-teman kampus jika keseringan pulang kampung sebab dipikirnya
Melani belum dewasa”. Jelas Melani berusaha meluluhkan hati ibunya mengenai
kenyataan yang dialaminya di dunia kampus..
“Ya sudahlah nak, tetap jaga
kesehatan dan jangan lupa shalat lima waktu!”. Pesan Ibunyaterdengar parau mengikuti jejak frekwensi
jaringan yang hampir lenyap ditelan badai angin.
Sesungguhnya Melani manusia
terbatas tak tau bahwa Ibunya sedang bertarung melawan penyakit tumor ganas
yang menghuni seisi kepalanya. Ibunya yang penyabar berusaha tidak membocorkan
rahasia penderitaannya ke anak gadisnya. Ia khawatir penyakit itu membayang-bayangi
Melani di kampus. Hanya doa terus ia
panjatkan agar diberikan kesempatan bertemu dengan anaknya sebelum menghadap ke
Sang Pencipta. Deras air mata bercucuran membasahi sajadah pemeberian almarhum
Ayah Melani.
“Ya Allah, kalaupun Engkau memanggiku
sebelum anakku datang maka kumohon tabahkan hatinya dan tunjukkan ia jalan
lurus, sungguh aku sangat ingin mendekapnya dalam kehangatan kasih sayangku”.
Tutur Ibu Melani bermunajat pada Allah untuk melampiaskan kegundahan hatinya.
Seketika rumah menjadi senyap
bagai tak berpenghuni.Begantian orang-orang
kampung datang menjenguknyayang telah terkapar
di atas dipan. Tak jarang orang-orang yang berkunjung merayunya untuk segera
menjalani operasi di rumah sakit. Untaian kata keluar dari mulutnya tidak ada
yang lain kecuali doa untuk Melani anak emasnya. Saat setelah azan subuh
berkumandang, ia tampak begitu khusyu menghadap Ilahi meskipun tubuhya tak kuat
lagi menahan rasa sakit yang mencekram. Wajah semakin pucat, tubuh yang kaku,
organ-organ tubuh berentetan berhenti melakukan tugasnya. Jasad dan napas telah
berpisah untuk menghadap Allah sebagai tempat peristirahatan terakhir.
“Dengan Melani? Ada surat dari
kampung nanda. Katanya diminta pulang karena ada hal penting”. Tutur ketua
jurusan FKM di kampus menyerahkan surat yang agak kusam itu ke gemgaman
Melani.
Melani tak berpikir panjang lagi,
ia segera berlari sekuat tenaga menuju ke kosnya untuk mengemas barang-barang
yang akan dibawanya kembali ke kampung. Sesampainya di rumah didapatinya banyak
orang memenuhi halaman rumah. Begitu berat terasa kakinya melangkah menyusuri
anak tangga. Berulang kali ia paksakan kakinya menggapai anak tangga terakhir.
Masih di posisi teras rumah, ia jatuh terkulai lemas dengan desahan tangisnya.
Berkat percikan air menyimbah wajahnya, ia pun terbangun masih dengan tangisan
terisak-isak. Ia tak sanggup menyaksikan ibunya terbaring dibalik balutan kain
putih. Melani merasa terpukul menghadapi kenyataan yang tak diduga-duga
kehadirannya.
“Ibu...kenapa lakukan ini pada
Melani, Melani tak kuat....jangan tinggalkan Melani sendiri, bu. Bicara Bu
dengan Melani, jangan diam aja!”. Teriak Melani. Ia menangis histeris, sambil
mengelus-ngelus dadanya.
Ia sungguh tak kuat menahan rasa
sakit hatinya. Lagi-lagi ia jatuhkan badannya di atas tubuh ibunya yang
terkulai tak berdaya. Keluarga terdekat mencoba menenangknnya sambil mendekapnya
dalam pelukan.
“Melani yang sabar,,, anakku
jangan pernah merasa sendiri. Lihatlah sekitarmu banyak orang-orang yang
mencintaimu dan akan bisa menyayangimu sebagaimana ibumu”. Ucap Tante melani
yanga juga merupakan tetangganya.
Setelah proses pemakaman ibunya
selesai, ia berniat kembali lagi ke dunia kampus.Bukan untuk melupakan kenangan ibunya, namun
ia hanya berusaha menguburkan kesedihannya agar tetap terfokus pada puncak
pendidikannya.Sebab ia menganggap hal
itu adalah pesan yang pernah dicita-citakan ibunya. Lagipula sebulan lagi ia
akan mengenakan gelar sarjana. Baginya kekuatan satu-satunya adalah bermunajat
pada Allah. Meskipun luka di hati belum sembuh dan masih menghantui perasaannya
di saat ia membaringkan tubuh di tengah senyap malam.
“Aku rindu pelukan Ibu.... Semoga
Ibu melihat aku di sini”. Curhatnya dalam kesendirian sambil meratapi
bintang-bintang berkejora di ruang angkasa.
Matahari pagi menampakkan wajah
meronanya setelah beberapa hari bersembunyi di balik gerombolan awan. Lastri
tidak ingin melewatkan kesempatan itu, menggunung pakaian di pojok kolam siap
dicucinya. Ia tak ingin menyia-nyiakan masa libur ujian nasional. Akhir-akhir
ini ia sibuk membantu ibunya membereskan rumah dan tak jarang hanya sendiri
menyelesaikan pekerjaan itu.
“Tri serius amat, udah libur yach?”.
Tanya Zaid muncul secara tiba-tiba di balik kolam. Kedatangannya memecahkan
kesunyian Lastri yang hanya diam membisu dengan tumpukan cucian.
“Zaid, ada apa?”. Tanya balik Lastri
pada sahabat karibnya dengan wajah sedikit lesu, sementara kedua tangan yang
penuh buih detergen mengusap wajahnya agar tidak tampak kusam di depan Zaid.
“Tri bagaimana hubunganmu dengan
Anton?”. Pertanyaan dilontarkan Zaid agak memancing.
“Saya mohon padamu, tak usah kamu
ungkit-ungkit masalah itu, aku bosan membahasnya”. Tegasnya Lastri mengecam
dirinya tak ingin kembali ke masa lalunya yang suram. Sudah cukup masalah itu
menyisakan luka mendalam baginya.
“Kamu tidak berminat datang menjenguk
Anton di penjara?”. Zaid sepertinya belum puas dengan jawaban Lastri.
Tidakjauh beda dengan dirinya ketika
masih satu atap sekolah dengan Lastri, gemar sekali mengganggu teman-teman
sekolahnya dengan pertanyaan-pertanyaan konyol.
“Sudah...Sudah... Cukup, untuk apa kau
ajak aku ke penjara, ingat! Aku dan Anton udah putus. Aku dan dia tak ada
hubungan apa-apa lagi titik, camkan itu Zaid!”. Bentak Lastri mempertajam jawabannya
ke zaid. Ia sejujurnya tak ingin dihantui oleh pertanyaan sahabatnya yang
sedikit menguras pikiran itu. Zaid lalu pergi tanpa pamit, kepergiannya membuat
Lastri meneteskan air mata hingga menjatuhi buih-buih yang berserakan di sela-sela
kain. Rasa bersalah telah mengusir sahabatnya membuat ia tak bisa tenang.
Namun, ia berusaha keras melupakan pristiwa itu sebagaimana usahanya
melenyapkan Anton dalam benaknya.
Begitu adik-adiknya pulang sekolah,
tak juga ia memohon bantuan mereka. Lastri sadar betul posisinya sebagai anak
sulung dari enam bersaudara, dimana dia memiliki beban di pundaknya untuk
mengarahkan masa depan adek-adeknya. Dia cukup dikenal oleh warga di kampungnya
sebagai anak yang sangat berbakti kepada orang tua. Bukan hanya itu, prestasi-prestasi
yang pernah ia torehkan dalam sejarah hidupnya membuat sebagian besar
teman-teman sekolahnya berkeinginan seperti dia.
Lastri terpisah dari kehidupan orang
tuanya saat ia duduk di bangku SMA. Mengawali hidup di tengah-tengah deras arus
modernisasi perkotaan begitu sulit baginya. Apatah lagi ia seorang diri
menghuni sebuah kos-kosan yang tempatnya tak jauh dari sekolah.
Semuanya tidak membutuhkan banyak
waktu untuk beradaptasi. Lastri bermetamorfosis di kota menjadi sesosok remaja
dewasa. Dia tampak lebih anggun dan banyak diminati oleh laki-laki.
“Tri, ngomong-ngomong siapa gebetanmu
sekarang?”. Tanya Ana salah satu anak kelas IPA dengan nada sedikit manja.
“Ich.. apaan sih kamu, aku tak punya
gebetan tau”. Bantah Lastri dengan wajah merah merona, seperti ada udang di
balik batu. Lastri memang tipe gadis yang tak ingin ditahu banyak mengenai seluk beluk kehidupan khasnya.
Menjelang UAS bertaburan tempat-tempat
penimbaan ilmu dibuka. Salah satu tempat kursus bhs. Inggris jarak 100 meter
dari jantung kota menjadi diminati siswa-siswi skala SMA. Lastri salah satu
tercetak sebagai anggota, meskipun ia sering mendapat teguran dari tantenya
sebab sering telat kembali ke kos. Di sana ia berkenalan dengan Dedy yang
merupakan satu-satunya peserta ekstra alias non SMA. Dedy sementara menekuni
tugasnya sebagai Arsiptor di sebuah kantor polisi di pusat kota. Perkenalannya
dengan Lastri menumbuhkan benih-benih cinta. Takjarang Lastri merengek-rengek kepada Dedy
untuk diarsipkan tugas-tugas sekolahnya. Romantisme cinta mereka sering
dibumbuhi dengan pertengkaran-pertengkaran anak ingusan.
“Dy, antar aku ke rumah teman yuuk,
aku ada kerja kelompok”. Pinta Lastri dengan suara manja dari balik Handpone
Nokia.
“Aduch... gimana yach dik, bukannya
tidak mau tapi aku sementara bertugas, kumohon adik mengerti”. Jawab singkat
Dedy di inbox Handpone Lastri seolah berusaha keras meyakinkan Lastri agar
tidak salah paham lagi.
“Yach sudahlah, selamat bekerja kak!
Oya kak minggu depan aku libur Ramadhan so untuk sementara kita mungkin jarang
ketemu”. Tegasnya.
Libur ramadhan kali ini membuat hati
Lastri sungguh riang. Kepulangannya di kampung sangat ditunggu-tunggu oleh
keluarganya. Ia seperti bunga desa yang masih mekar belum tersentuh oleh
kumbang. Di antara lima kawan SDnya, hanya dia yang belum memasuki gerbang
pelaminan. Padahal dua tiga perjaka telah datang hendak meminangnya, namun ia
menolak dengan alasan pendidikan. Malam-malam sakral di bulan ramadhan
dianggapnya menjadi peluang bermunajat kepada Yang Esa demi pinta masa depan
gemilang. Namun, ada beberapa malam yang ia terpaksa alpa dari pemunajatan,
sebab datangnya tamu tak di undang dari Allah untuk wanita telah baliq.
“Assalamu alaikum. Dengan Lastri, maaf
mengganggu kenalkan nama saya Anton”. Suara seorang pemuda mengaku dirinya
Anton dari balik handpone.
“Waalaikum salam, iya betul saya
Lastri, ada apa yach n tau dari mana nomor ini?”. Tanyanya dengan nada agak
heran, sembari meluruskan punggungnya di tumpukan bantal guling.
“Saya ambil nomornya adek dari
sepupuku yangbaru aja menikah dengan
Omnya adek, saya tidak bermaksud apa-apa, saya hanya ingin mengenal adek lebih
dekat”. TuturAnton memperjalas jati
dirinya.
“Tut...tut...tut..”. Seketika
perbincangan perdana itu berhenti. Jaringan sepertinya tidak bersahabat dengan
mereka.
Kini Anton menjadi bunga-bunga tidur
Lastri. Meskipun tampannya belum tersaksikan oleh mata namun suara Anton dengan
sikap kewibawaannya terdeteksi lewat handpone gemgaman. Dedy yang mungkin di
luar sana masih sibuk dengan tugas-tugasnya lenyap seketika dari gubuk hatinya.
Saat musim silaturrahim tiba, ia seolah mencari-cari sesosok misterius itu yang
selama malam-malam ramadhan memenuhi inbox hpnya. Anton sang perjaka misterius
menampakkan dirinya ketika acara pesta pernikahan sedang digelar di rumah Zaid.
Anton ternyata adalah teman akrab Zaid
yang juga merupakan teman akrabnya semenjak di SMP. Anton dikenal oleh
teman-teman SMAnya sebagai pemain terhebat dari sebuah tim basket. Tatapan dua
insang bak ion negatif dan positif yang saling tarik menarik. Lastri tiba-tiba
ingin melabuhkan hatinya dalam dermaga cinta Anton. Ia sendiri heran mengapa ia
begitu tergetar seperti kesetrum listrik saat memandang watak dari sesosok
pemuda itu. Ia tak mau ambil pusing ketika Anton menembak hatinya dengan panah
cinta, ia menerima begitu saja tanpa bersyarat. Hubungan mereka berjalan
serius. Bahkan mereka mengikrarkan janji menuju ke gerbang plaminan.
Hari libur anak-anak bangsa diwarnai
dengan pentas-pentas maupun lomba-lomba. Pertandingan basket di jantung kota
akan digelar antar siswa SMA sekabupaten. Tentunya Anton sang raja basket yang
telah melumpuhkan beberapa tim basket lainnya tak akan melewatkan kesempatan
itu. Apatah lagi kali ini ada Lastri yang setia mensupornya. Lagi-lagi tim
basket Anton memborong piala basket untuk tahun ini, hal ini menjadi
keistimewahan tersendiri bagi cinta mereka berdua. Seperti biasa ternyata Anton
dan kawand-kawand timnya merayakan kemenangannya di salah satu rumah personil
tim basketnya.
“Tri, malam mini aku jemput yach, aku
ingin mengajak kamu makan-makan untuk merayakan kemenangan tim basketku “.
Ajakan Anton berupaya meluluhkan hati gadis pujaannya.
“Boleh, lagipula aku malam ini aku
kosong”. Tutur Lastri menerima ajakan Anton.
Ditengah perjalanan motor Ninja yang
mereka kendarai tiba-tiba mogok. Tak ada rumah dan hanya ada semak belukar di
tempat itu. Entah mengapa Anton yang selama ini Lastri kenal sebagai laki-laki
baik-baik berubah seketika menjadi menyeramkan. Ia mendekap tubuh Lastri dengan
erat hingga tak membiarkannya lolos.
“Anton lepaskan saya, jangan
macam-macam yach kamu, aku bisa berteriak sekencang-kencangnya dari sini”. Ancam
Lastri dengan tubuh gemetaran. Ia memberanikan diri menampar pipi Anton yang
mulai beraksi aneh-aneh terhadapnya.
“Jangan sok suci Tri, kita lakukan
saja di sini sebagai bentuk cinta sejati kita, lagipula kan bentar lagi kita
mau menikah, ayolah”. Rayuan Anton semakin menjadi-jadi. Ia tak lagi kasihan
dengan desahan lastri yang jatuh dipelukannya.
Lastri berdoa kepada Yang Esa untuk
dilindungi kesuciannya malam itu. Bersenjatakan balok berukuran setengah meter,
ia berhasil lolos dari dekapan tubuh Anton. Ia berlari tergopoh-gopoh
menelusuri ruas-ruas jalan. Jantungnya berdegup kencang khawatir Anton
mengikuti jejak langkahnya.
“Ya Allah, terima kasih Engkau masih
menolongku. Aku tak bisa bayangkan jika kesucianku terenggut oleh laki-laki
bejat itu”. Ucap Lastri sambil menangis terisak-isak.
Peristiwa itu selalu menghantui
pikirannya hingga tak bisa memejamkan mata semalaman. Ia berubah menjadi gadis
pendiam di kelas sampai semua temannya heran. Trauma yang dialaminya menjadikan
ia tak bisa bercanda lagi dengan laki-laki meskipun itu sepupunya sendiri.
Termasuk Dedy yang menjadi korban traumanya, ia seperti tak kenal siapa Dedy
itu.
“Maafkan aku Tri, aku tidak bermaksud
melukai perasaanmu malam itu. Aku melakukan itu karena aku cinta mati”. Inbox
si laki-laki bejat itu datang lagi. Tidak kapok-kapoknya ia menyibak hati
Lastri.
“Oke.. aku mengerti, sebutlah aku
laki-laki iblis. Satu pintaku lupakan aku dari pikiranmu, anggap saja aku dan
kamu tak pernah bertemu. Dari awal aku sudah katakan padamu aku laki-laki tak
pantas untuk kau miliki, aku cukup tau diri sebagai seorang laki-laki namun
bukankah dirimu sendiri yang memintaku mencintaimu kala itu. Maka lihatlah
wajah asliku, semoga kamu bertemu dengan jalanmu yang larus, Tri. Sekali
maafkan aku3X”. Jelas Anton dalam inbox Lastri. Ia tidak jauh beda dengan
dirinya yang dulu ketika awal bertemu dengan Lastri. Ia selalu menampakkan
dirinya yang baik di dunia maya namun dirinya di dunia nyata sungguh berbeda
jauh bak langit dan bumi.
“BBoodooh........”. Teriak Lastri
menggemparkan seisi ruangan kelasnya. Teman-teman kelasnya semakin diliputi
rasa penasaran tentang dia. Sering kali ia berbicara sendiri, tertawa sendiri
dan menangis tanpa sebab.
“Assalamu alaikum, ada apa denganmu
saudariku, aku melihatmu akhir-akhir ini murung aja?”. Sapa Winda selaku ketua
Rohis di SMA itu. Ia berupaya mendekati Lastri sembari menjadi teman curhatnya.
Tak sepatah pun kata keluar dari mulut
Lastri. Tetes demi tetes air matanya bercucuran hingga membasahi kertas buram
di tangannya. Ia tampak berharap Winda merangkulnya dalam batinnya yang suci.
“Ajari aku mencintai Allah Win?”.
Pinta Lastri dalam tangisnya.
“Dengan senang hati ukhty, sungguh
sangat bahagia diriku bisa berkawan denganmu”. Tutur Winda.
“Saya juga Win, aku beruntung bisa
mengenalmu. Win, kali ini aku memiliki tekad bulat akan berubah, aku kan
menggunakan hijab syar’i dan aku kan senantiasa belajar Islam”. Ucap Lastri penuh
harapan pada Winda. Wajahnya yang kusam seketika beralih menjadi bening
bercahaya. Matanya berbinar-binar, tubuhnya yang loyo dan lemas menjadi bugar
kembali.
“Subhanallah, semoga Allah senantiasa
memberikan petunjuk kepada ukhty hingga itu tidak sekedar tekad saja, Amin”.
Jelasnya Winda meyakinkan hati Lastri untuk berubah.
Lastri yang dulu lenyap diterbangkan
angin berlalu. Dia berubah menjadi sesosok muslimah yang anggun. Laki-laki tak
lagi berani mendekatinya tanpa ada prihal penting. Orang tuanya di kampung ikut
senang mendengar kabar anaknya gemar belajar Islam. Lastri tidak hanya sibuk
memoles dirinya dengan siraman-siraman kajian, namun terlebih dari itu ia juga
bermurah hati menyampaikan ilmunya ke orang-orang sekitarnya. Kenangan-kengan
pahit masa lalu terkadang ia jadikan bahan pelajaran untuk mengingatkan
teman-teman perempuannya agar tidak terjerumus ke lubang yang sama.
“Lastri yang dulu, kukubur dirimu
dalam lembaran-lembaran hitam. Aku berharap engkau tidak gentayangan dan
menghantuiku setiap hari. Lastri yang sekarang menemukan setitik cahaya dalam
lembaran baru. Ia akan menjadi pelita bagi gelapnya dunia sekitarnya”.
Berpatah-patah kata Lastri torehkan dalam buku hariannya.
Beberapa bulan kemudian terdengar
kabar memilukan dari Zaid sahabat karibnya. Anton si laki-laki bejat itu masuk
penjara bersama dengan lima teman-teman tim basketnya. Mereka dijerat kasus
pemerkosaan terhadap gadis cilik yang masih berusia belasan di sebuah rumah tak
berpenghuni. Kejadiannya tepat malam saat mereka merayakan kemenangan tim
basketnya. Pemerkosaan itu berlangsung ketika mereka dalam keadaan mabuk-mabukan,
sementara gadis yang menjadi korbannya itu diculik dari depan jalan tempat
mereka berpesta.
“Ya Allah kasihan gadis itu. Ternyata
aku nyaris seperti dia, dimana malam itu aku juga sempat diajak ke tempat yang
sama”. Bisik Lastri dalam hati.
“Allahu Akbar, Subhanallah, Maha Besar
Engkau Ya Allah telah melindungiku”. Lastri tak henti-hentinya memuji Allah
Sang Pencipta Alam Semesta sebagai tanda syukurnya telah diselamatkan dari
kejadian kala itu.