Jumat, 17 Januari 2014

DI PENGHUJUNG PENANTIAN IBU


DI PENGHUJUNG PENANTIAN IBU
Oleh: Elzehna Zakhwan
Liburan kampus diwarnai aksi mudik para mahasiswa. Mendadak kendaraan-kendaraan umum penghubung antar kota disesaki oleh penumpang yang notabene mahasiswa. Antusias mereka menapaki pintu gerbang tanah kelahiran terpancar dari hati yang selalu merindu. Tidak ketinggalan Melani salah satu penghuni kampus di sebuah kota metropolitan, berebut antrian tiket kapal laut dengan para fans tiket promo. Baginya berlama-lama di kampung tercinta membuat hati damai dan otak fress dibanding di kampus bagai terkungkung dalam penjara. Dia cukup dikenal oleh teman-teman sekelasnya rajin pulang kampung, hingga ia pernah mandapat julukan ratu PULKAM (Pulang kampung).
“Ibu...bu....bu... Melani datang”. Teriaknya sambil menyusuri anak-anak tangga dari bagian depan rumah.
“Iya nak ibu di dapur, lansung saja ke sini nak”. Suara ibu terdengar dari pojok rumah.
“hmmm... masakan ibu enak........sekali jadi laper”. Pujian Melani saat merangkul tubuh ibunya.
“Ibu kan tau anakku pasti lapar setelah berjuang berjam-jam di perjalanan”. Ibu mencoba membalas pujian anaknya yang sementara melahab makanan di atas meja.
Pagi-pagi melani dan ibunya meninggalkan rumah menuju kebun yang berada di perbatasan kampung sebelah. Mereka menempuh perjalanan dengan jalan kaki. Tradisi bagi Melani ketika pulang kampung mengisi kekosongan waktu dengan menggarap rezeki di kebun miliknya. Menyantap bungkusan makanan dalam rantang khas petani terasa nikmat tak tertandingi, meskipun hanya berteman daun kelor dan ikan kering berpoleskan cabe rawit. Datangnya mentari di atas 90o tak mengurungkan semangatnya berjemur di tengah padang rumput yang mulai gersang sebab musim kemarau.
“Nak, ayo makan dulu, setelah itu baru kita shalat berjamaah”. Ajak Ibu melani dengan nada maha lembut mengisyaratkan cinta pada buah hatinya.
“Iya bu, sebentar... saya bereskan dulu rumput-rumput ini”. Tutur Melani. Dia tampak begitu giat menyelesaikan pekerjaannya. Seakan tak ada rasa lapar baginya ketika berhadapan dengan keseriusan. Apalagi ia tau betul Ibunya tinggal seorang diri saat ketiadaannya meramaikan suasana rumah.
Waktu berjalan cepat, ruang kampus yang senyap memanggil-manggil penghuninya untuk kembali lagi. Melani sungguh tak ikhlas harus meninggalkan ibunya demi menimba ilmu di kota. Namun, ibunya ternyata mampu membakar  jiwa anak gadisnya untuk kembali lagi ke dunia kampus. Ia sungguh beruntung memiliki ibu yang sangat perhatian dengan masa depannya. Meskipun ia sangat jarang mempersoalkan hal demikian, namun setidaknya ia telah menggantungkan cita-citanya setinggi langit bahwa ia akan menjadi seorang Ilmuan Muslim.
“Baik-baik yach nak di kampus, belajar yang sunguh-sungguh!”. Pesan Ibunya.
“Iya bu, Insya Allah jika ada libur saya akan datang lagi, bu”. Jawabnya dengan mata berkaca-kaca hampir meteskan butiran-butiran air. Ia tak bisa menahan tangisan setiap kali melihat ibunya melambaikan tangan di bibir dermaga pelabuhan dengan senyuman khas.
Selama dua hari terombang-ambing di atas kapal sempat membuat ia menangis terisak-isak. Ia terus melawan rasa cengengnya dengan memandangi pristiwa keindahan laut di pagi hari. Deras arus ombak menghempas batu karang bagai dirinya yang terpaksa menghadapi kerasnya hidup di kota. Ulah lumba-lumba lucu jingkrak-jingkrak di samping kapal bagai dirinya yang senantiasa ingin selalu berada di samping ibunya. Gerombolan bangao mengintai kapal dari kejauhan bagai teman-teman kampusnya yang bersorak memanggilnya kembali. Sementara pancaran sinar matahari membentang di laut lepas bagai masa depan cerah yang ia akan kunjungi. Semuanya seakan bersinergi menjadi satu hingga hati Melani yang rapuh terombang-ambing di ambang dilema.
Proses belajar mengajar di kampus berjalan seperti biasanya. Melani tetap saja murung di kelas, lebih parah dari hari-hari sebelumnya ketika habis pulang kampung. Kali ini ia malas ngomong sama teman-temannya. Wajahnya pucat, ia tampak tak bergairah untuk menerima pelajaran.
“Hei murung aja, boleh tau ada apa?”. Tanya Jeny teman duduknya di kelas, menepuk bahu Melani bermaksud untuk mengagetkannya.
“Melani... melani...melani, bangun, dosen udah datang tuch”. Jeny berusaha membangunkan Melani yang terkapar di atas mejanya. Melani tak jua menunjukkan reaksi apa-apa. Tubuhnya yang kurus tiba-tiba jatuh ke lantai sampai menggemparkan seisi ruangan.
“Pak..pak.. Melani pingsan”. Bersorak semua teman-temannya bergantian meyakinkan dosennya.
“Ya sudah,empat orang saja tolong bawa Melani pulang, yang lain tetap fokus di sini!”. Tegas Dosen Kesehatan Lingkungan, sembari memperbaiki slide Power pointnya yang diotak atik oleh virus.
Empat teman sekelasnya yang memborong tubuhnya kembali ke kosan khawatir meninggalkannya sendirian dengan tubuh yang masih lemas tak berdaya. Termasuk Jeny mahasiswi jawara kampus sepertinya telah menjadikan sesosok Melani sebagai adik kandungnya sendiri, meskipun ia hanya jenjang beberapai hari dari usia Melani. Segumpal jahe hangat Jeny tambalkan ke dahi Melani agar siuman dari tidur panjangnya. Suasana senyap kos-kosan masih terasa sebab sebagian penghuninya masih terlena di kampung.
“Hmmm.... apa yang terjadi denganku?”. Tanya Melani ketika siuman setelah pingsan selama dua jam. Ia mengepal-ngepal kepalanya yang masih terbaluti kain kerudung.
“Kamu baik-baik saja Melani?”. Tanya balik Jeny, sambil membereskan sebongkah kain yang berserakan di atas ranjang.
“Aku baik-baik aja Jeny, maaf merepotkanmu”. Tutur Melani dengan suaranya agak serak. Ia bergegas bangun dari tempat tidur untuk membantu Jeny membereskan kamarnya yang tak sempat ia bersihkan sebelum berangkat ke kampus.
Melani memendam malu tampak rapuh di hadapan teman-temannya. Ia berupaya tak mengulangi kejadian itu. Berbagai kesibukan dilakukannya demi mengimbangi perasaan rindunya kembali ke kampung. Tak seperti biasanya jadwal Melani seketika full dalam seharian. Terkadang ia lupa mengawasi kesehatannya termasuk mengatur pola makan setiap hari sebagaimana yang selalu dipesankan oleh ibunya. Apalagi di tengah-tengah kesibukannya di dunia Akademik, muncul tawaran-tawaran bekerja di waktu-waktu kosong kuliah. Tentunya ia sangat girang menerima tawaran itu, pikirnya ia tak mesti lagi merengek-rengek minta ongkos hidup kepada ibunya. Ia akan mulai hidup mandiri, sebab ia sadar bahwa dirinya bukan lagi anak kecil yang menunggu disuapi. Di sela-sela libur kuliah dan kerja, biasanya ia gunakan buat jalan-jalan dengan Jeny ke pantai yang tak jauh dari pusat kota.
“Sepertinya ada yang berubah nich”. Ucap Jeny mencoba memancing Melani berkisah.
“Begitulah hidup Jen, mesti memang ada yang berubah”. Jawab Melani dengan singkat. Ia berusaha menghindari gerombolan ombak yang menghempas roknya. Rasa bahagia terpancar dari hatinya yang mencoba menyatu dengan keindahan pantai.
“Kemungkinan aku mengurangi porsi pulang kampungku, aku ingin belajar hidup lama di kota”. Lanjut Melani sambil mengedipkan mata kepada Jeny.
Mereka seolah lupa dengan waktu selama bermain-main dengan ombak. Azan dhuhur, azan Ashar berlalu tanpa mereka indahkan. Tak jarang mereka habiskan waktu 16 jam di luar. Ada apa dengan Melaniku?.
“Assalamu alaikum, Mel kapan pulang nak? Ibu kangen, hampir satu tahun Mel enggak pulang-pulang, Mel sibuk?”. Tanya Ibu dari balik Hp dengan suara penuh rindu.
“Maafkan saya bu, bukannya Melani tak mau pulang-pulang hanya saja Melani udah berjanji tidak akan balik-balik ke kampung sebelum Melani mendapat gelar sarjana. Sejujurnya Melani juga malu-malu bu dengan teman-teman kampus jika keseringan pulang kampung sebab dipikirnya Melani belum dewasa”. Jelas Melani berusaha meluluhkan hati ibunya mengenai kenyataan yang dialaminya di dunia kampus..
“Ya sudahlah nak, tetap jaga kesehatan dan jangan lupa shalat lima waktu!”. Pesan Ibunya  terdengar parau mengikuti jejak frekwensi jaringan yang hampir lenyap ditelan badai angin.
Sesungguhnya Melani manusia terbatas tak tau bahwa Ibunya sedang bertarung melawan penyakit tumor ganas yang menghuni seisi kepalanya. Ibunya yang penyabar berusaha tidak membocorkan rahasia penderitaannya ke anak gadisnya. Ia khawatir penyakit itu membayang-bayangi Melani di kampus.  Hanya doa terus ia panjatkan agar diberikan kesempatan bertemu dengan anaknya sebelum menghadap ke Sang Pencipta. Deras air mata bercucuran membasahi sajadah pemeberian almarhum Ayah Melani.
“Ya Allah, kalaupun Engkau memanggiku sebelum anakku datang maka kumohon tabahkan hatinya dan tunjukkan ia jalan lurus, sungguh aku sangat ingin mendekapnya dalam kehangatan kasih sayangku”. Tutur Ibu Melani bermunajat pada Allah untuk melampiaskan kegundahan hatinya.
Seketika rumah menjadi senyap bagai tak berpenghuni.  Begantian orang-orang kampung datang menjenguknya  yang telah terkapar di atas dipan. Tak jarang orang-orang yang berkunjung merayunya untuk segera menjalani operasi di rumah sakit. Untaian kata keluar dari mulutnya tidak ada yang lain kecuali doa untuk Melani anak emasnya. Saat setelah azan subuh berkumandang, ia tampak begitu khusyu menghadap Ilahi meskipun tubuhya tak kuat lagi menahan rasa sakit yang mencekram. Wajah semakin pucat, tubuh yang kaku, organ-organ tubuh berentetan berhenti melakukan tugasnya. Jasad dan napas telah berpisah untuk menghadap Allah sebagai tempat peristirahatan terakhir.
“Dengan Melani? Ada surat dari kampung nanda. Katanya diminta pulang karena ada hal penting”. Tutur ketua jurusan FKM di kampus menyerahkan surat yang agak kusam itu ke gemgaman Melani.    
“Tidak mungkin, oh tidak......”. Teriak Melani seketika menggetarkan dinding-dinding ruangan.
Melani tak berpikir panjang lagi, ia segera berlari sekuat tenaga menuju ke kosnya untuk mengemas barang-barang yang akan dibawanya kembali ke kampung. Sesampainya di rumah didapatinya banyak orang memenuhi halaman rumah. Begitu berat terasa kakinya melangkah menyusuri anak tangga. Berulang kali ia paksakan kakinya menggapai anak tangga terakhir. Masih di posisi teras rumah, ia jatuh terkulai lemas dengan desahan tangisnya. Berkat percikan air menyimbah wajahnya, ia pun terbangun masih dengan tangisan terisak-isak. Ia tak sanggup menyaksikan ibunya terbaring dibalik balutan kain putih. Melani merasa terpukul menghadapi kenyataan yang tak diduga-duga kehadirannya.
“Ibu...kenapa lakukan ini pada Melani, Melani tak kuat....jangan tinggalkan Melani sendiri, bu. Bicara Bu dengan Melani, jangan diam aja!”. Teriak Melani. Ia menangis histeris, sambil mengelus-ngelus dadanya. 
Ia sungguh tak kuat menahan rasa sakit hatinya. Lagi-lagi ia jatuhkan badannya di atas tubuh ibunya yang terkulai tak berdaya. Keluarga terdekat mencoba menenangknnya sambil mendekapnya dalam pelukan.
“Melani yang sabar,,, anakku jangan pernah merasa sendiri. Lihatlah sekitarmu banyak orang-orang yang mencintaimu dan akan bisa menyayangimu sebagaimana ibumu”. Ucap Tante melani yanga juga merupakan tetangganya.
Setelah proses pemakaman ibunya selesai, ia berniat kembali lagi ke dunia kampus.  Bukan untuk melupakan kenangan ibunya, namun ia hanya berusaha menguburkan kesedihannya agar tetap terfokus pada puncak pendidikannya.  Sebab ia menganggap hal itu adalah pesan yang pernah dicita-citakan ibunya. Lagipula sebulan lagi ia akan mengenakan gelar sarjana. Baginya kekuatan satu-satunya adalah bermunajat pada Allah. Meskipun luka di hati belum sembuh dan masih menghantui perasaannya di saat ia membaringkan tubuh di tengah senyap malam.
“Aku rindu pelukan Ibu.... Semoga Ibu melihat aku di sini”. Curhatnya dalam kesendirian sambil meratapi bintang-bintang berkejora di ruang angkasa.    




   















































1 komentar:

  1. Playtech: The Biggest & Most Popular Casino Games Ever
    Playtech has been the 아산 출장마사지 biggest 부천 출장샵 and most popular casino games 안산 출장샵 ever, with over 2000 of the most popular online games 서울특별 출장마사지 on the market. Find out 군포 출장안마 more

    BalasHapus