DI PENGHUJUNG
PENANTIAN IBU
Oleh: Elzehna
Zakhwan
Liburan kampus diwarnai aksi
mudik para mahasiswa. Mendadak kendaraan-kendaraan umum penghubung antar kota
disesaki oleh penumpang yang notabene mahasiswa. Antusias mereka menapaki pintu
gerbang tanah kelahiran terpancar dari hati yang selalu merindu. Tidak
ketinggalan Melani salah satu penghuni kampus di sebuah kota metropolitan,
berebut antrian tiket kapal laut dengan para fans tiket promo. Baginya berlama-lama
di kampung tercinta membuat hati damai dan otak fress dibanding di kampus bagai
terkungkung dalam penjara. Dia cukup dikenal oleh teman-teman sekelasnya rajin
pulang kampung, hingga ia pernah mandapat julukan ratu PULKAM (Pulang kampung).
“Ibu...bu....bu... Melani datang”.
Teriaknya sambil menyusuri anak-anak tangga dari bagian depan rumah.
“Iya nak ibu di dapur, lansung
saja ke sini nak”. Suara ibu terdengar dari pojok rumah.
“hmmm... masakan ibu
enak........sekali jadi laper”. Pujian Melani saat merangkul tubuh ibunya.
“Ibu kan tau anakku pasti lapar
setelah berjuang berjam-jam di perjalanan”. Ibu mencoba membalas pujian anaknya
yang sementara melahab makanan di atas meja.
Pagi-pagi melani dan ibunya
meninggalkan rumah menuju kebun yang berada di perbatasan kampung sebelah.
Mereka menempuh perjalanan dengan jalan kaki. Tradisi bagi Melani ketika pulang
kampung mengisi kekosongan waktu dengan menggarap rezeki di kebun miliknya.
Menyantap bungkusan makanan dalam rantang khas petani terasa nikmat tak tertandingi,
meskipun hanya berteman daun kelor dan ikan kering berpoleskan cabe rawit.
Datangnya mentari di atas 90o tak mengurungkan semangatnya berjemur
di tengah padang rumput yang mulai gersang sebab musim kemarau.
“Nak, ayo makan dulu, setelah itu
baru kita shalat berjamaah”. Ajak Ibu melani dengan nada maha lembut
mengisyaratkan cinta pada buah hatinya.
“Iya bu, sebentar... saya
bereskan dulu rumput-rumput ini”. Tutur Melani. Dia tampak begitu giat
menyelesaikan pekerjaannya. Seakan tak ada rasa lapar baginya ketika berhadapan
dengan keseriusan. Apalagi ia tau betul Ibunya tinggal seorang diri saat
ketiadaannya meramaikan suasana rumah.
Waktu berjalan cepat, ruang
kampus yang senyap memanggil-manggil penghuninya untuk kembali lagi. Melani
sungguh tak ikhlas harus meninggalkan ibunya demi menimba ilmu di kota. Namun,
ibunya ternyata mampu membakar jiwa anak
gadisnya untuk kembali lagi ke dunia kampus. Ia sungguh beruntung memiliki ibu
yang sangat perhatian dengan masa depannya. Meskipun ia sangat jarang
mempersoalkan hal demikian, namun setidaknya ia telah menggantungkan
cita-citanya setinggi langit bahwa ia akan menjadi seorang Ilmuan Muslim.
“Baik-baik yach nak di kampus,
belajar yang sunguh-sungguh!”. Pesan Ibunya.
“Iya bu, Insya Allah jika ada
libur saya akan datang lagi, bu”. Jawabnya dengan mata berkaca-kaca hampir
meteskan butiran-butiran air. Ia tak bisa menahan tangisan setiap kali melihat
ibunya melambaikan tangan di bibir dermaga pelabuhan dengan senyuman khas.
Selama dua hari terombang-ambing
di atas kapal sempat membuat ia menangis terisak-isak. Ia terus melawan rasa
cengengnya dengan memandangi pristiwa keindahan laut di pagi hari. Deras arus
ombak menghempas batu karang bagai dirinya yang terpaksa menghadapi kerasnya
hidup di kota. Ulah lumba-lumba lucu jingkrak-jingkrak di samping kapal bagai
dirinya yang senantiasa ingin selalu berada di samping ibunya. Gerombolan
bangao mengintai kapal dari kejauhan bagai teman-teman kampusnya yang bersorak
memanggilnya kembali. Sementara pancaran sinar matahari membentang di laut
lepas bagai masa depan cerah yang ia akan kunjungi. Semuanya seakan bersinergi
menjadi satu hingga hati Melani yang rapuh terombang-ambing di ambang dilema.
Proses belajar mengajar di kampus
berjalan seperti biasanya. Melani tetap saja murung di kelas, lebih parah dari
hari-hari sebelumnya ketika habis pulang kampung. Kali ini ia malas ngomong
sama teman-temannya. Wajahnya pucat, ia tampak tak bergairah untuk menerima
pelajaran.
“Hei murung aja, boleh tau ada
apa?”. Tanya Jeny teman duduknya di kelas, menepuk bahu Melani bermaksud untuk
mengagetkannya.
“Melani... melani...melani, bangun,
dosen udah datang tuch”. Jeny berusaha membangunkan Melani yang terkapar di
atas mejanya. Melani tak jua menunjukkan reaksi apa-apa. Tubuhnya yang kurus
tiba-tiba jatuh ke lantai sampai menggemparkan seisi ruangan.
“Pak..pak.. Melani pingsan”.
Bersorak semua teman-temannya bergantian meyakinkan dosennya.
“Ya sudah,empat orang saja tolong
bawa Melani pulang, yang lain tetap fokus di sini!”. Tegas Dosen Kesehatan
Lingkungan, sembari memperbaiki slide Power pointnya yang diotak atik oleh
virus.
Empat teman sekelasnya yang
memborong tubuhnya kembali ke kosan khawatir meninggalkannya sendirian dengan
tubuh yang masih lemas tak berdaya. Termasuk Jeny mahasiswi jawara kampus
sepertinya telah menjadikan sesosok Melani sebagai adik kandungnya sendiri,
meskipun ia hanya jenjang beberapai hari dari usia Melani. Segumpal jahe hangat
Jeny tambalkan ke dahi Melani agar siuman dari tidur panjangnya. Suasana senyap
kos-kosan masih terasa sebab sebagian penghuninya masih terlena di kampung.
“Hmmm.... apa yang terjadi
denganku?”. Tanya Melani ketika siuman setelah pingsan selama dua jam. Ia
mengepal-ngepal kepalanya yang masih terbaluti kain kerudung.
“Kamu baik-baik saja Melani?”.
Tanya balik Jeny, sambil membereskan sebongkah kain yang berserakan di atas
ranjang.
“Aku baik-baik aja Jeny, maaf
merepotkanmu”. Tutur Melani dengan suaranya agak serak. Ia bergegas bangun dari
tempat tidur untuk membantu Jeny membereskan kamarnya yang tak sempat ia
bersihkan sebelum berangkat ke kampus.
Melani memendam malu tampak rapuh
di hadapan teman-temannya. Ia berupaya tak mengulangi kejadian itu. Berbagai
kesibukan dilakukannya demi mengimbangi perasaan rindunya kembali ke kampung.
Tak seperti biasanya jadwal Melani seketika full dalam seharian. Terkadang ia
lupa mengawasi kesehatannya termasuk mengatur pola makan setiap hari
sebagaimana yang selalu dipesankan oleh ibunya. Apalagi di tengah-tengah
kesibukannya di dunia Akademik, muncul tawaran-tawaran bekerja di waktu-waktu
kosong kuliah. Tentunya ia sangat girang menerima tawaran itu, pikirnya ia tak
mesti lagi merengek-rengek minta ongkos hidup kepada ibunya. Ia akan mulai
hidup mandiri, sebab ia sadar bahwa dirinya bukan lagi anak kecil yang menunggu
disuapi. Di sela-sela libur kuliah dan kerja, biasanya ia gunakan buat
jalan-jalan dengan Jeny ke pantai yang tak jauh dari pusat kota.
“Sepertinya ada yang berubah
nich”. Ucap Jeny mencoba memancing Melani berkisah.
“Begitulah hidup Jen, mesti
memang ada yang berubah”. Jawab Melani dengan singkat. Ia berusaha menghindari
gerombolan ombak yang menghempas roknya. Rasa bahagia terpancar dari hatinya
yang mencoba menyatu dengan keindahan pantai.
“Kemungkinan aku mengurangi porsi
pulang kampungku, aku ingin belajar hidup lama di kota”. Lanjut Melani sambil
mengedipkan mata kepada Jeny.
Mereka seolah lupa dengan waktu
selama bermain-main dengan ombak. Azan dhuhur, azan Ashar berlalu tanpa mereka
indahkan. Tak jarang mereka habiskan waktu 16 jam di luar. Ada apa dengan
Melaniku?.
“Assalamu alaikum, Mel kapan
pulang nak? Ibu kangen, hampir satu tahun Mel enggak pulang-pulang, Mel
sibuk?”. Tanya Ibu dari balik Hp dengan suara penuh rindu.
“Maafkan saya bu, bukannya Melani
tak mau pulang-pulang hanya saja Melani udah berjanji tidak akan balik-balik ke
kampung sebelum Melani mendapat gelar sarjana. Sejujurnya Melani juga malu-malu
bu dengan teman-teman kampus jika keseringan pulang kampung sebab dipikirnya
Melani belum dewasa”. Jelas Melani berusaha meluluhkan hati ibunya mengenai
kenyataan yang dialaminya di dunia kampus..
“Ya sudahlah nak, tetap jaga
kesehatan dan jangan lupa shalat lima waktu!”. Pesan Ibunya terdengar parau mengikuti jejak frekwensi
jaringan yang hampir lenyap ditelan badai angin.
Sesungguhnya Melani manusia
terbatas tak tau bahwa Ibunya sedang bertarung melawan penyakit tumor ganas
yang menghuni seisi kepalanya. Ibunya yang penyabar berusaha tidak membocorkan
rahasia penderitaannya ke anak gadisnya. Ia khawatir penyakit itu membayang-bayangi
Melani di kampus. Hanya doa terus ia
panjatkan agar diberikan kesempatan bertemu dengan anaknya sebelum menghadap ke
Sang Pencipta. Deras air mata bercucuran membasahi sajadah pemeberian almarhum
Ayah Melani.
“Ya Allah, kalaupun Engkau memanggiku
sebelum anakku datang maka kumohon tabahkan hatinya dan tunjukkan ia jalan
lurus, sungguh aku sangat ingin mendekapnya dalam kehangatan kasih sayangku”.
Tutur Ibu Melani bermunajat pada Allah untuk melampiaskan kegundahan hatinya.
Seketika rumah menjadi senyap
bagai tak berpenghuni. Begantian orang-orang
kampung datang menjenguknya yang telah terkapar
di atas dipan. Tak jarang orang-orang yang berkunjung merayunya untuk segera
menjalani operasi di rumah sakit. Untaian kata keluar dari mulutnya tidak ada
yang lain kecuali doa untuk Melani anak emasnya. Saat setelah azan subuh
berkumandang, ia tampak begitu khusyu menghadap Ilahi meskipun tubuhya tak kuat
lagi menahan rasa sakit yang mencekram. Wajah semakin pucat, tubuh yang kaku,
organ-organ tubuh berentetan berhenti melakukan tugasnya. Jasad dan napas telah
berpisah untuk menghadap Allah sebagai tempat peristirahatan terakhir.
“Dengan Melani? Ada surat dari
kampung nanda. Katanya diminta pulang karena ada hal penting”. Tutur ketua
jurusan FKM di kampus menyerahkan surat yang agak kusam itu ke gemgaman
Melani.
“Tidak mungkin, oh tidak......”.
Teriak Melani seketika menggetarkan dinding-dinding ruangan.
Melani tak berpikir panjang lagi,
ia segera berlari sekuat tenaga menuju ke kosnya untuk mengemas barang-barang
yang akan dibawanya kembali ke kampung. Sesampainya di rumah didapatinya banyak
orang memenuhi halaman rumah. Begitu berat terasa kakinya melangkah menyusuri
anak tangga. Berulang kali ia paksakan kakinya menggapai anak tangga terakhir.
Masih di posisi teras rumah, ia jatuh terkulai lemas dengan desahan tangisnya.
Berkat percikan air menyimbah wajahnya, ia pun terbangun masih dengan tangisan
terisak-isak. Ia tak sanggup menyaksikan ibunya terbaring dibalik balutan kain
putih. Melani merasa terpukul menghadapi kenyataan yang tak diduga-duga
kehadirannya.
“Ibu...kenapa lakukan ini pada
Melani, Melani tak kuat....jangan tinggalkan Melani sendiri, bu. Bicara Bu
dengan Melani, jangan diam aja!”. Teriak Melani. Ia menangis histeris, sambil
mengelus-ngelus dadanya.
Ia sungguh tak kuat menahan rasa
sakit hatinya. Lagi-lagi ia jatuhkan badannya di atas tubuh ibunya yang
terkulai tak berdaya. Keluarga terdekat mencoba menenangknnya sambil mendekapnya
dalam pelukan.
“Melani yang sabar,,, anakku
jangan pernah merasa sendiri. Lihatlah sekitarmu banyak orang-orang yang
mencintaimu dan akan bisa menyayangimu sebagaimana ibumu”. Ucap Tante melani
yanga juga merupakan tetangganya.
Setelah proses pemakaman ibunya
selesai, ia berniat kembali lagi ke dunia kampus. Bukan untuk melupakan kenangan ibunya, namun
ia hanya berusaha menguburkan kesedihannya agar tetap terfokus pada puncak
pendidikannya. Sebab ia menganggap hal
itu adalah pesan yang pernah dicita-citakan ibunya. Lagipula sebulan lagi ia
akan mengenakan gelar sarjana. Baginya kekuatan satu-satunya adalah bermunajat
pada Allah. Meskipun luka di hati belum sembuh dan masih menghantui perasaannya
di saat ia membaringkan tubuh di tengah senyap malam.
“Aku rindu pelukan Ibu.... Semoga
Ibu melihat aku di sini”. Curhatnya dalam kesendirian sambil meratapi
bintang-bintang berkejora di ruang angkasa.
Playtech: The Biggest & Most Popular Casino Games Ever
BalasHapusPlaytech has been the 아산 출장마사지 biggest 부천 출장샵 and most popular casino games 안산 출장샵 ever, with over 2000 of the most popular online games 서울특별 출장마사지 on the market. Find out 군포 출장안마 more