Label

Tampilkan postingan dengan label CERPEN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CERPEN. Tampilkan semua postingan

Jumat, 17 Januari 2014

DI PENGHUJUNG PENANTIAN IBU


DI PENGHUJUNG PENANTIAN IBU
Oleh: Elzehna Zakhwan
Liburan kampus diwarnai aksi mudik para mahasiswa. Mendadak kendaraan-kendaraan umum penghubung antar kota disesaki oleh penumpang yang notabene mahasiswa. Antusias mereka menapaki pintu gerbang tanah kelahiran terpancar dari hati yang selalu merindu. Tidak ketinggalan Melani salah satu penghuni kampus di sebuah kota metropolitan, berebut antrian tiket kapal laut dengan para fans tiket promo. Baginya berlama-lama di kampung tercinta membuat hati damai dan otak fress dibanding di kampus bagai terkungkung dalam penjara. Dia cukup dikenal oleh teman-teman sekelasnya rajin pulang kampung, hingga ia pernah mandapat julukan ratu PULKAM (Pulang kampung).
“Ibu...bu....bu... Melani datang”. Teriaknya sambil menyusuri anak-anak tangga dari bagian depan rumah.
“Iya nak ibu di dapur, lansung saja ke sini nak”. Suara ibu terdengar dari pojok rumah.
“hmmm... masakan ibu enak........sekali jadi laper”. Pujian Melani saat merangkul tubuh ibunya.
“Ibu kan tau anakku pasti lapar setelah berjuang berjam-jam di perjalanan”. Ibu mencoba membalas pujian anaknya yang sementara melahab makanan di atas meja.
Pagi-pagi melani dan ibunya meninggalkan rumah menuju kebun yang berada di perbatasan kampung sebelah. Mereka menempuh perjalanan dengan jalan kaki. Tradisi bagi Melani ketika pulang kampung mengisi kekosongan waktu dengan menggarap rezeki di kebun miliknya. Menyantap bungkusan makanan dalam rantang khas petani terasa nikmat tak tertandingi, meskipun hanya berteman daun kelor dan ikan kering berpoleskan cabe rawit. Datangnya mentari di atas 90o tak mengurungkan semangatnya berjemur di tengah padang rumput yang mulai gersang sebab musim kemarau.
“Nak, ayo makan dulu, setelah itu baru kita shalat berjamaah”. Ajak Ibu melani dengan nada maha lembut mengisyaratkan cinta pada buah hatinya.
“Iya bu, sebentar... saya bereskan dulu rumput-rumput ini”. Tutur Melani. Dia tampak begitu giat menyelesaikan pekerjaannya. Seakan tak ada rasa lapar baginya ketika berhadapan dengan keseriusan. Apalagi ia tau betul Ibunya tinggal seorang diri saat ketiadaannya meramaikan suasana rumah.
Waktu berjalan cepat, ruang kampus yang senyap memanggil-manggil penghuninya untuk kembali lagi. Melani sungguh tak ikhlas harus meninggalkan ibunya demi menimba ilmu di kota. Namun, ibunya ternyata mampu membakar  jiwa anak gadisnya untuk kembali lagi ke dunia kampus. Ia sungguh beruntung memiliki ibu yang sangat perhatian dengan masa depannya. Meskipun ia sangat jarang mempersoalkan hal demikian, namun setidaknya ia telah menggantungkan cita-citanya setinggi langit bahwa ia akan menjadi seorang Ilmuan Muslim.
“Baik-baik yach nak di kampus, belajar yang sunguh-sungguh!”. Pesan Ibunya.
“Iya bu, Insya Allah jika ada libur saya akan datang lagi, bu”. Jawabnya dengan mata berkaca-kaca hampir meteskan butiran-butiran air. Ia tak bisa menahan tangisan setiap kali melihat ibunya melambaikan tangan di bibir dermaga pelabuhan dengan senyuman khas.
Selama dua hari terombang-ambing di atas kapal sempat membuat ia menangis terisak-isak. Ia terus melawan rasa cengengnya dengan memandangi pristiwa keindahan laut di pagi hari. Deras arus ombak menghempas batu karang bagai dirinya yang terpaksa menghadapi kerasnya hidup di kota. Ulah lumba-lumba lucu jingkrak-jingkrak di samping kapal bagai dirinya yang senantiasa ingin selalu berada di samping ibunya. Gerombolan bangao mengintai kapal dari kejauhan bagai teman-teman kampusnya yang bersorak memanggilnya kembali. Sementara pancaran sinar matahari membentang di laut lepas bagai masa depan cerah yang ia akan kunjungi. Semuanya seakan bersinergi menjadi satu hingga hati Melani yang rapuh terombang-ambing di ambang dilema.
Proses belajar mengajar di kampus berjalan seperti biasanya. Melani tetap saja murung di kelas, lebih parah dari hari-hari sebelumnya ketika habis pulang kampung. Kali ini ia malas ngomong sama teman-temannya. Wajahnya pucat, ia tampak tak bergairah untuk menerima pelajaran.
“Hei murung aja, boleh tau ada apa?”. Tanya Jeny teman duduknya di kelas, menepuk bahu Melani bermaksud untuk mengagetkannya.
“Melani... melani...melani, bangun, dosen udah datang tuch”. Jeny berusaha membangunkan Melani yang terkapar di atas mejanya. Melani tak jua menunjukkan reaksi apa-apa. Tubuhnya yang kurus tiba-tiba jatuh ke lantai sampai menggemparkan seisi ruangan.
“Pak..pak.. Melani pingsan”. Bersorak semua teman-temannya bergantian meyakinkan dosennya.
“Ya sudah,empat orang saja tolong bawa Melani pulang, yang lain tetap fokus di sini!”. Tegas Dosen Kesehatan Lingkungan, sembari memperbaiki slide Power pointnya yang diotak atik oleh virus.
Empat teman sekelasnya yang memborong tubuhnya kembali ke kosan khawatir meninggalkannya sendirian dengan tubuh yang masih lemas tak berdaya. Termasuk Jeny mahasiswi jawara kampus sepertinya telah menjadikan sesosok Melani sebagai adik kandungnya sendiri, meskipun ia hanya jenjang beberapai hari dari usia Melani. Segumpal jahe hangat Jeny tambalkan ke dahi Melani agar siuman dari tidur panjangnya. Suasana senyap kos-kosan masih terasa sebab sebagian penghuninya masih terlena di kampung.
“Hmmm.... apa yang terjadi denganku?”. Tanya Melani ketika siuman setelah pingsan selama dua jam. Ia mengepal-ngepal kepalanya yang masih terbaluti kain kerudung.
“Kamu baik-baik saja Melani?”. Tanya balik Jeny, sambil membereskan sebongkah kain yang berserakan di atas ranjang.
“Aku baik-baik aja Jeny, maaf merepotkanmu”. Tutur Melani dengan suaranya agak serak. Ia bergegas bangun dari tempat tidur untuk membantu Jeny membereskan kamarnya yang tak sempat ia bersihkan sebelum berangkat ke kampus.
Melani memendam malu tampak rapuh di hadapan teman-temannya. Ia berupaya tak mengulangi kejadian itu. Berbagai kesibukan dilakukannya demi mengimbangi perasaan rindunya kembali ke kampung. Tak seperti biasanya jadwal Melani seketika full dalam seharian. Terkadang ia lupa mengawasi kesehatannya termasuk mengatur pola makan setiap hari sebagaimana yang selalu dipesankan oleh ibunya. Apalagi di tengah-tengah kesibukannya di dunia Akademik, muncul tawaran-tawaran bekerja di waktu-waktu kosong kuliah. Tentunya ia sangat girang menerima tawaran itu, pikirnya ia tak mesti lagi merengek-rengek minta ongkos hidup kepada ibunya. Ia akan mulai hidup mandiri, sebab ia sadar bahwa dirinya bukan lagi anak kecil yang menunggu disuapi. Di sela-sela libur kuliah dan kerja, biasanya ia gunakan buat jalan-jalan dengan Jeny ke pantai yang tak jauh dari pusat kota.
“Sepertinya ada yang berubah nich”. Ucap Jeny mencoba memancing Melani berkisah.
“Begitulah hidup Jen, mesti memang ada yang berubah”. Jawab Melani dengan singkat. Ia berusaha menghindari gerombolan ombak yang menghempas roknya. Rasa bahagia terpancar dari hatinya yang mencoba menyatu dengan keindahan pantai.
“Kemungkinan aku mengurangi porsi pulang kampungku, aku ingin belajar hidup lama di kota”. Lanjut Melani sambil mengedipkan mata kepada Jeny.
Mereka seolah lupa dengan waktu selama bermain-main dengan ombak. Azan dhuhur, azan Ashar berlalu tanpa mereka indahkan. Tak jarang mereka habiskan waktu 16 jam di luar. Ada apa dengan Melaniku?.
“Assalamu alaikum, Mel kapan pulang nak? Ibu kangen, hampir satu tahun Mel enggak pulang-pulang, Mel sibuk?”. Tanya Ibu dari balik Hp dengan suara penuh rindu.
“Maafkan saya bu, bukannya Melani tak mau pulang-pulang hanya saja Melani udah berjanji tidak akan balik-balik ke kampung sebelum Melani mendapat gelar sarjana. Sejujurnya Melani juga malu-malu bu dengan teman-teman kampus jika keseringan pulang kampung sebab dipikirnya Melani belum dewasa”. Jelas Melani berusaha meluluhkan hati ibunya mengenai kenyataan yang dialaminya di dunia kampus..
“Ya sudahlah nak, tetap jaga kesehatan dan jangan lupa shalat lima waktu!”. Pesan Ibunya  terdengar parau mengikuti jejak frekwensi jaringan yang hampir lenyap ditelan badai angin.
Sesungguhnya Melani manusia terbatas tak tau bahwa Ibunya sedang bertarung melawan penyakit tumor ganas yang menghuni seisi kepalanya. Ibunya yang penyabar berusaha tidak membocorkan rahasia penderitaannya ke anak gadisnya. Ia khawatir penyakit itu membayang-bayangi Melani di kampus.  Hanya doa terus ia panjatkan agar diberikan kesempatan bertemu dengan anaknya sebelum menghadap ke Sang Pencipta. Deras air mata bercucuran membasahi sajadah pemeberian almarhum Ayah Melani.
“Ya Allah, kalaupun Engkau memanggiku sebelum anakku datang maka kumohon tabahkan hatinya dan tunjukkan ia jalan lurus, sungguh aku sangat ingin mendekapnya dalam kehangatan kasih sayangku”. Tutur Ibu Melani bermunajat pada Allah untuk melampiaskan kegundahan hatinya.
Seketika rumah menjadi senyap bagai tak berpenghuni.  Begantian orang-orang kampung datang menjenguknya  yang telah terkapar di atas dipan. Tak jarang orang-orang yang berkunjung merayunya untuk segera menjalani operasi di rumah sakit. Untaian kata keluar dari mulutnya tidak ada yang lain kecuali doa untuk Melani anak emasnya. Saat setelah azan subuh berkumandang, ia tampak begitu khusyu menghadap Ilahi meskipun tubuhya tak kuat lagi menahan rasa sakit yang mencekram. Wajah semakin pucat, tubuh yang kaku, organ-organ tubuh berentetan berhenti melakukan tugasnya. Jasad dan napas telah berpisah untuk menghadap Allah sebagai tempat peristirahatan terakhir.
“Dengan Melani? Ada surat dari kampung nanda. Katanya diminta pulang karena ada hal penting”. Tutur ketua jurusan FKM di kampus menyerahkan surat yang agak kusam itu ke gemgaman Melani.    
“Tidak mungkin, oh tidak......”. Teriak Melani seketika menggetarkan dinding-dinding ruangan.
Melani tak berpikir panjang lagi, ia segera berlari sekuat tenaga menuju ke kosnya untuk mengemas barang-barang yang akan dibawanya kembali ke kampung. Sesampainya di rumah didapatinya banyak orang memenuhi halaman rumah. Begitu berat terasa kakinya melangkah menyusuri anak tangga. Berulang kali ia paksakan kakinya menggapai anak tangga terakhir. Masih di posisi teras rumah, ia jatuh terkulai lemas dengan desahan tangisnya. Berkat percikan air menyimbah wajahnya, ia pun terbangun masih dengan tangisan terisak-isak. Ia tak sanggup menyaksikan ibunya terbaring dibalik balutan kain putih. Melani merasa terpukul menghadapi kenyataan yang tak diduga-duga kehadirannya.
“Ibu...kenapa lakukan ini pada Melani, Melani tak kuat....jangan tinggalkan Melani sendiri, bu. Bicara Bu dengan Melani, jangan diam aja!”. Teriak Melani. Ia menangis histeris, sambil mengelus-ngelus dadanya. 
Ia sungguh tak kuat menahan rasa sakit hatinya. Lagi-lagi ia jatuhkan badannya di atas tubuh ibunya yang terkulai tak berdaya. Keluarga terdekat mencoba menenangknnya sambil mendekapnya dalam pelukan.
“Melani yang sabar,,, anakku jangan pernah merasa sendiri. Lihatlah sekitarmu banyak orang-orang yang mencintaimu dan akan bisa menyayangimu sebagaimana ibumu”. Ucap Tante melani yanga juga merupakan tetangganya.
Setelah proses pemakaman ibunya selesai, ia berniat kembali lagi ke dunia kampus.  Bukan untuk melupakan kenangan ibunya, namun ia hanya berusaha menguburkan kesedihannya agar tetap terfokus pada puncak pendidikannya.  Sebab ia menganggap hal itu adalah pesan yang pernah dicita-citakan ibunya. Lagipula sebulan lagi ia akan mengenakan gelar sarjana. Baginya kekuatan satu-satunya adalah bermunajat pada Allah. Meskipun luka di hati belum sembuh dan masih menghantui perasaannya di saat ia membaringkan tubuh di tengah senyap malam.
“Aku rindu pelukan Ibu.... Semoga Ibu melihat aku di sini”. Curhatnya dalam kesendirian sambil meratapi bintang-bintang berkejora di ruang angkasa.    




   















































TUMBAL CINTA


TUMBAL CINTA
Oleh: Elzehna Zakhwan
Matahari pagi menampakkan wajah meronanya setelah beberapa hari bersembunyi di balik gerombolan awan. Lastri tidak ingin melewatkan kesempatan itu, menggunung pakaian di pojok kolam siap dicucinya. Ia tak ingin menyia-nyiakan masa libur ujian nasional. Akhir-akhir ini ia sibuk membantu ibunya membereskan rumah dan tak jarang hanya sendiri menyelesaikan pekerjaan itu.
“Tri serius amat, udah libur yach?”. Tanya Zaid muncul secara tiba-tiba di balik kolam. Kedatangannya memecahkan kesunyian Lastri yang hanya diam membisu dengan tumpukan cucian.
“Zaid, ada apa?”. Tanya balik Lastri pada sahabat karibnya dengan wajah sedikit lesu, sementara kedua tangan yang penuh buih detergen mengusap wajahnya agar tidak tampak kusam di depan Zaid.
“Tri bagaimana hubunganmu dengan Anton?”. Pertanyaan dilontarkan Zaid agak memancing.
“Saya mohon padamu, tak usah kamu ungkit-ungkit masalah itu, aku bosan membahasnya”. Tegasnya Lastri mengecam dirinya tak ingin kembali ke masa lalunya yang suram. Sudah cukup masalah itu menyisakan luka mendalam baginya.
“Kamu tidak berminat datang menjenguk Anton di penjara?”. Zaid sepertinya belum puas dengan jawaban Lastri. Tidak  jauh beda dengan dirinya ketika masih satu atap sekolah dengan Lastri, gemar sekali mengganggu teman-teman sekolahnya dengan pertanyaan-pertanyaan konyol.
“Sudah...Sudah... Cukup, untuk apa kau ajak aku ke penjara, ingat! Aku dan Anton udah putus. Aku dan dia tak ada hubungan apa-apa lagi titik, camkan itu Zaid!”. Bentak Lastri mempertajam jawabannya ke zaid. Ia sejujurnya tak ingin dihantui oleh pertanyaan sahabatnya yang sedikit menguras pikiran itu. Zaid lalu pergi tanpa pamit, kepergiannya membuat Lastri meneteskan air mata hingga menjatuhi buih-buih yang berserakan di sela-sela kain. Rasa bersalah telah mengusir sahabatnya membuat ia tak bisa tenang. Namun, ia berusaha keras melupakan pristiwa itu sebagaimana usahanya melenyapkan Anton dalam benaknya.
Begitu adik-adiknya pulang sekolah, tak juga ia memohon bantuan mereka. Lastri sadar betul posisinya sebagai anak sulung dari enam bersaudara, dimana dia memiliki beban di pundaknya untuk mengarahkan masa depan adek-adeknya. Dia cukup dikenal oleh warga di kampungnya sebagai anak yang sangat berbakti kepada orang tua. Bukan hanya itu, prestasi-prestasi yang pernah ia torehkan dalam sejarah hidupnya membuat sebagian besar teman-teman sekolahnya berkeinginan seperti dia.
Lastri terpisah dari kehidupan orang tuanya saat ia duduk di bangku SMA. Mengawali hidup di tengah-tengah deras arus modernisasi perkotaan begitu sulit baginya. Apatah lagi ia seorang diri menghuni sebuah kos-kosan yang tempatnya tak jauh dari sekolah.
Semuanya tidak membutuhkan banyak waktu untuk beradaptasi. Lastri bermetamorfosis di kota menjadi sesosok remaja dewasa. Dia tampak lebih anggun dan banyak diminati oleh laki-laki.
“Tri, ngomong-ngomong siapa gebetanmu sekarang?”. Tanya Ana salah satu anak kelas IPA dengan nada sedikit manja.
“Ich.. apaan sih kamu, aku tak punya gebetan tau”. Bantah Lastri dengan wajah merah merona, seperti ada udang di balik batu. Lastri memang tipe gadis yang tak ingin ditahu  banyak mengenai seluk beluk kehidupan khasnya.
Menjelang UAS bertaburan tempat-tempat penimbaan ilmu dibuka. Salah satu tempat kursus bhs. Inggris jarak 100 meter dari jantung kota menjadi diminati siswa-siswi skala SMA. Lastri salah satu tercetak sebagai anggota, meskipun ia sering mendapat teguran dari tantenya sebab sering telat kembali ke kos. Di sana ia berkenalan dengan Dedy yang merupakan satu-satunya peserta ekstra alias non SMA. Dedy sementara menekuni tugasnya sebagai Arsiptor di sebuah kantor polisi di pusat kota. Perkenalannya dengan Lastri menumbuhkan benih-benih cinta. Tak  jarang Lastri merengek-rengek kepada Dedy untuk diarsipkan tugas-tugas sekolahnya. Romantisme cinta mereka sering dibumbuhi dengan pertengkaran-pertengkaran anak ingusan.
“Dy, antar aku ke rumah teman yuuk, aku ada kerja kelompok”. Pinta Lastri dengan suara manja dari balik Handpone Nokia.
“Aduch... gimana yach dik, bukannya tidak mau tapi aku sementara bertugas, kumohon adik mengerti”. Jawab singkat Dedy di inbox Handpone Lastri seolah berusaha keras meyakinkan Lastri agar tidak salah paham lagi.
“Yach sudahlah, selamat bekerja kak! Oya kak minggu depan aku libur Ramadhan so untuk sementara kita mungkin jarang ketemu”. Tegasnya.
Libur ramadhan kali ini membuat hati Lastri sungguh riang. Kepulangannya di kampung sangat ditunggu-tunggu oleh keluarganya. Ia seperti bunga desa yang masih mekar belum tersentuh oleh kumbang. Di antara lima kawan SDnya, hanya dia yang belum memasuki gerbang pelaminan. Padahal dua tiga perjaka telah datang hendak meminangnya, namun ia menolak dengan alasan pendidikan. Malam-malam sakral di bulan ramadhan dianggapnya menjadi peluang bermunajat kepada Yang Esa demi pinta masa depan gemilang. Namun, ada beberapa malam yang ia terpaksa alpa dari pemunajatan, sebab datangnya tamu tak di undang dari Allah untuk wanita telah baliq.
“Assalamu alaikum. Dengan Lastri, maaf mengganggu kenalkan nama saya Anton”. Suara seorang pemuda mengaku dirinya Anton dari balik handpone.
“Waalaikum salam, iya betul saya Lastri, ada apa yach n tau dari mana nomor ini?”. Tanyanya dengan nada agak heran, sembari meluruskan punggungnya di tumpukan bantal guling.
“Saya ambil nomornya adek dari sepupuku yang  baru aja menikah dengan Omnya adek, saya tidak bermaksud apa-apa, saya hanya ingin mengenal adek lebih dekat”. Tutur  Anton memperjalas jati dirinya.
“Tut...tut...tut..”. Seketika perbincangan perdana itu berhenti. Jaringan sepertinya tidak bersahabat dengan mereka.
Kini Anton menjadi bunga-bunga tidur Lastri. Meskipun tampannya belum tersaksikan oleh mata namun suara Anton dengan sikap kewibawaannya terdeteksi lewat handpone gemgaman. Dedy yang mungkin di luar sana masih sibuk dengan tugas-tugasnya lenyap seketika dari gubuk hatinya. Saat musim silaturrahim tiba, ia seolah mencari-cari sesosok misterius itu yang selama malam-malam ramadhan memenuhi inbox hpnya. Anton sang perjaka misterius menampakkan dirinya ketika acara pesta pernikahan sedang digelar di rumah Zaid. Anton  ternyata adalah teman akrab Zaid yang juga merupakan teman akrabnya semenjak di SMP. Anton dikenal oleh teman-teman SMAnya sebagai pemain terhebat dari sebuah tim basket. Tatapan dua insang bak ion negatif dan positif yang saling tarik menarik. Lastri tiba-tiba ingin melabuhkan hatinya dalam dermaga cinta Anton. Ia sendiri heran mengapa ia begitu tergetar seperti kesetrum listrik saat memandang watak dari sesosok pemuda itu. Ia tak mau ambil pusing ketika Anton menembak hatinya dengan panah cinta, ia menerima begitu saja tanpa bersyarat. Hubungan mereka berjalan serius. Bahkan mereka mengikrarkan janji menuju ke gerbang plaminan.
Hari libur anak-anak bangsa diwarnai dengan pentas-pentas maupun lomba-lomba. Pertandingan basket di jantung kota akan digelar antar siswa SMA sekabupaten. Tentunya Anton sang raja basket yang telah melumpuhkan beberapa tim basket lainnya tak akan melewatkan kesempatan itu. Apatah lagi kali ini ada Lastri yang setia mensupornya. Lagi-lagi tim basket Anton memborong piala basket untuk tahun ini, hal ini menjadi keistimewahan tersendiri bagi cinta mereka berdua. Seperti biasa ternyata Anton dan kawand-kawand timnya merayakan kemenangannya di salah satu rumah personil tim basketnya.
“Tri, malam mini aku jemput yach, aku ingin mengajak kamu makan-makan untuk merayakan kemenangan tim basketku “. Ajakan Anton berupaya meluluhkan hati gadis pujaannya.
“Boleh, lagipula aku malam ini aku kosong”. Tutur Lastri menerima ajakan Anton.
Ditengah perjalanan motor Ninja yang mereka kendarai tiba-tiba mogok. Tak ada rumah dan hanya ada semak belukar di tempat itu. Entah mengapa Anton yang selama ini Lastri kenal sebagai laki-laki baik-baik berubah seketika menjadi menyeramkan. Ia mendekap tubuh Lastri dengan erat hingga tak membiarkannya lolos.
“Anton lepaskan saya, jangan macam-macam yach kamu, aku bisa berteriak sekencang-kencangnya dari sini”. Ancam Lastri dengan tubuh gemetaran. Ia memberanikan diri menampar pipi Anton yang mulai beraksi aneh-aneh terhadapnya.
“Jangan sok suci Tri, kita lakukan saja di sini sebagai bentuk cinta sejati kita, lagipula kan bentar lagi kita mau menikah, ayolah”. Rayuan Anton semakin menjadi-jadi. Ia tak lagi kasihan dengan desahan lastri yang jatuh dipelukannya.
Lastri berdoa kepada Yang Esa untuk dilindungi kesuciannya malam itu. Bersenjatakan balok berukuran setengah meter, ia berhasil lolos dari dekapan tubuh Anton. Ia berlari tergopoh-gopoh menelusuri ruas-ruas jalan. Jantungnya berdegup kencang khawatir Anton mengikuti jejak langkahnya.
“Ya Allah, terima kasih Engkau masih menolongku. Aku tak bisa bayangkan jika kesucianku terenggut oleh laki-laki bejat itu”. Ucap Lastri sambil menangis terisak-isak.
Peristiwa itu selalu menghantui pikirannya hingga tak bisa memejamkan mata semalaman. Ia berubah menjadi gadis pendiam di kelas sampai semua temannya heran. Trauma yang dialaminya menjadikan ia tak bisa bercanda lagi dengan laki-laki meskipun itu sepupunya sendiri. Termasuk Dedy yang menjadi korban traumanya, ia seperti tak kenal siapa Dedy itu.
“Maafkan aku Tri, aku tidak bermaksud melukai perasaanmu malam itu. Aku melakukan itu karena aku cinta mati”. Inbox si laki-laki bejat itu datang lagi. Tidak kapok-kapoknya ia menyibak hati Lastri.
“Oke.. aku mengerti, sebutlah aku laki-laki iblis. Satu pintaku lupakan aku dari pikiranmu, anggap saja aku dan kamu tak pernah bertemu. Dari awal aku sudah katakan padamu aku laki-laki tak pantas untuk kau miliki, aku cukup tau diri sebagai seorang laki-laki namun bukankah dirimu sendiri yang memintaku mencintaimu kala itu. Maka lihatlah wajah asliku, semoga kamu bertemu dengan jalanmu yang larus, Tri. Sekali maafkan aku3X”. Jelas Anton dalam inbox Lastri. Ia tidak jauh beda dengan dirinya yang dulu ketika awal bertemu dengan Lastri. Ia selalu menampakkan dirinya yang baik di dunia maya namun dirinya di dunia nyata sungguh berbeda jauh bak langit dan bumi.
“BBoodooh........”. Teriak Lastri menggemparkan seisi ruangan kelasnya. Teman-teman kelasnya semakin diliputi rasa penasaran tentang dia. Sering kali ia berbicara sendiri, tertawa sendiri dan menangis tanpa sebab.
“Assalamu alaikum, ada apa denganmu saudariku, aku melihatmu akhir-akhir ini murung aja?”. Sapa Winda selaku ketua Rohis di SMA itu. Ia berupaya mendekati Lastri sembari menjadi teman curhatnya.
Tak sepatah pun kata keluar dari mulut Lastri. Tetes demi tetes air matanya bercucuran hingga membasahi kertas buram di tangannya. Ia tampak berharap Winda merangkulnya dalam batinnya yang suci.
“Ajari aku mencintai Allah Win?”. Pinta Lastri dalam tangisnya.
“Dengan senang hati ukhty, sungguh sangat bahagia diriku bisa berkawan denganmu”. Tutur Winda.
“Saya juga Win, aku beruntung bisa mengenalmu. Win, kali ini aku memiliki tekad bulat akan berubah, aku kan menggunakan hijab syar’i dan aku kan senantiasa belajar Islam”. Ucap Lastri penuh harapan pada Winda. Wajahnya yang kusam seketika beralih menjadi bening bercahaya. Matanya berbinar-binar, tubuhnya yang loyo dan lemas menjadi bugar kembali.
“Subhanallah, semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk kepada ukhty hingga itu tidak sekedar tekad saja, Amin”. Jelasnya Winda meyakinkan hati Lastri untuk berubah.
Lastri yang dulu lenyap diterbangkan angin berlalu. Dia berubah menjadi sesosok muslimah yang anggun. Laki-laki tak lagi berani mendekatinya tanpa ada prihal penting. Orang tuanya di kampung ikut senang mendengar kabar anaknya gemar belajar Islam. Lastri tidak hanya sibuk memoles dirinya dengan siraman-siraman kajian, namun terlebih dari itu ia juga bermurah hati menyampaikan ilmunya ke orang-orang sekitarnya. Kenangan-kengan pahit masa lalu terkadang ia jadikan bahan pelajaran untuk mengingatkan teman-teman perempuannya agar tidak terjerumus ke lubang yang sama.
“Lastri yang dulu, kukubur dirimu dalam lembaran-lembaran hitam. Aku berharap engkau tidak gentayangan dan menghantuiku setiap hari. Lastri yang sekarang menemukan setitik cahaya dalam lembaran baru. Ia akan menjadi pelita bagi gelapnya dunia sekitarnya”. Berpatah-patah kata Lastri torehkan dalam buku hariannya.
Beberapa bulan kemudian terdengar kabar memilukan dari Zaid sahabat karibnya. Anton si laki-laki bejat itu masuk penjara bersama dengan lima teman-teman tim basketnya. Mereka dijerat kasus pemerkosaan terhadap gadis cilik yang masih berusia belasan di sebuah rumah tak berpenghuni. Kejadiannya tepat malam saat mereka merayakan kemenangan tim basketnya. Pemerkosaan itu berlangsung ketika mereka dalam keadaan mabuk-mabukan, sementara gadis yang menjadi korbannya itu diculik dari depan jalan tempat mereka berpesta.
“Ya Allah kasihan gadis itu. Ternyata aku nyaris seperti dia, dimana malam itu aku juga sempat diajak ke tempat yang sama”. Bisik Lastri dalam hati.
“Allahu Akbar, Subhanallah, Maha Besar Engkau Ya Allah telah melindungiku”. Lastri tak henti-hentinya memuji Allah Sang Pencipta Alam Semesta sebagai tanda syukurnya telah diselamatkan dari kejadian kala itu. 

Selasa, 03 Desember 2013

ANGKUTAN 07

Dring...dring...dring, hp bordering hingga menggetarkan benda-benda di sekitarnya. Nada dering pertanda ada inbox masuk. Isi pesan dengan untaian kalimat ideologis menyerukan kepada para pejuang kebenaran agar berkumpul di lokasi yang akan menjadi saksi sejarah peradaban. Sebuah aksi damai dengan peserta komunitas perempuan alias tanpa laki-laki akan berlangsung di sekitar kampus merah tepatnya waktu Indonesia bagian tengah menunjukkan pukul 16.00.
Bersegeralah dia ke jalan raya menunggu mobil angkot kampus merah. Dia adalah salah satu akhwat yang bergerak di sebuah organisasi perjuangan menegakkan khilafah. Dengan costum biru-biru, dia tampak sangat percaya diri menunggu mobil yang akan membawanya ke tujuannya. Datanglah mobil angkutan kampus merah yang dijuluki oleh masyarakat kampus dengan nama angkutan 07. Terdengar suara dengan nada keras dari sopir angkot 07,”ujung dek?. Tanpa berpikir panjang si akhwat bergegas naik ke mobil dan mengambil tempat duduk di dekat pintu supaya lebih mudah untuk mengontrol jalan-jalan menuju kampus merah. Hp yang digemgamnya pun tak henti-hentinya bordering di atas mobil ditambah suasana sore yang cerah sedikit membuat ia gerah berada di dalam mobil. Tidak lama kemudian terdengar suara azan di mesjid-mesjid yang mengingatkan setiap kaum muslim untuk menunaikan salah satu kewajibannya sebagai hamba Allah sekaligus menunjukkan bahwa aksi setengah jam lagi dimulai. Dia merasa semakin lama berada di atas mobil dan jalur yang dilalui oleh mobil yang ia tumpangi terasa semakin berlawanan dengan arah dengan jalan menuju ke kampus merah, sementara dia harus menghadiri aksi tepat waktu belum lagi waktu shalat ashar sudah semakin molor. Dia mulai panik dan bertanya-tanya dalam hati apa yang salah sehingga dia begitu lama di perjalanan menuju ke tujuan padahal menurut informasi waktu yang dibutuhkan dari tempat ia menunggu mobil munuju kampus merah tidak terlalu lama alias hanya membutuhkan sekitar 20 menit jika mobilnya banyak jeda berhenti mengambil penumpang di jalanan. Ia melihat ke kiri dan ke kanan mobil, jalanan yang ditempuh mobil 07 tidak seperti biasanya. Dia berusaha berpikiran positif dengan menganggap bahwa jalur yang akan dilalui mobil 07 adalah jalur lain. Namun, ia sangat kaget ketika jalannya mobil mendekati kampus biru yang notabene kampus yang arahnya berlawanan dengan arah kampus merah. Penumpang lain telah banyak yang turun dari mobil hingga masih tersisa dua penumpang termasuk si akhwat itu. Ia baru tersadar jika ternyata ia salah jalur angkutan ketika sopir angkutan bertanya dimana arah tujuannya. Dengan wajahnya yang polos dia bertanya,”kampus toch kak?”. Si sopir kemudian menjawab sambil senyum-seyum,”oh, ke kampus lagi? tapi kita ke ujung dulu yaa dek, di sana kita baru belok ke kampus”. Seorang gadis cantik yang merupakan sisa penumpang yang belum turun ikut pula bertanya kepada dia,” ada apa kak? Kakak mau ke kampus merah yah? Kakak ikut aja lagi kembali ke kampus alias nda usah turun dari mobil”. Tidak lama kemudian si gadis itu meminta sopir untuk berhenti,”kiri...kiri...kak”. Akhirnya hanya tertinggal seorang diri si akhwat itu. Terlihat wajahnya yang kemerah-merahan, kerudungnya ia gulung-gulung kemudian ia gigit ujungnya. Ia merasa sangat malu di samping juga dia khawatir tidak bisa mengikuti aksi karena sudah sangat terlambat sekali. Tidak lama setelah mobil berbalik arah, jalan menuju kampus merah semakin tanpak jelas. Dengan terburu-buru dia bergegas turun dari mobil ketika melihat sebuah mesjid besar yang berdiri kokoh di samping pintu masuk kampus merah. Dia berlari menelusuri anak-anak tangga halaman mesjid menuju ke lantai dua dari mesjid tersebut. Namun dia kaget ketika mendengar suara seorang laki-laki yang memanggilnya sambil mengepukkan tangan,” kpak...kpak...kpak.. cewek...cewek...afwan tempatnya akhwat bukan di lantai dua tapi di lantai bawah”. Kedua kalinya dia merasa malu, dua kejadian yang membuat dia seperti orang yang sedang mencari alamat. Setelah shalat ashar di lantai bawah mesjid, dia kemudian bersegera menuju ke lokasi aksi meskipun sudah sangat telat sekali. Rasa malu, kaget, khawatir tiba-tiba melayang dan menghilang terbawa angin ketika menyaksikan berjejeran wanita-wanita berjilbab dan berkerudung memegang poster-poster yang berisikan banyak kata-kata menggugah sementara yang lainnya sibuk berorasi di tengah-tengah jalan umum kendaraan kampus. Perjalanan yang sungguh luar biasa yang hampir mengendorkan niat si akhwat itu namun ia tetap semangat karena ia yakin bahwa tidak ada hal yang sia-sia ketika berusaha untuk berjuang demi kejayaan agama Allah.
Kegigihan dalam mancari sebuah kebenaran tidak akan menyurutkan semangat seseorang meskipun banyak rintangan yang mengahalangi. Kegigihan tanpa tujuan yang jelas menjadi suatu hal yang mengambang. Tujuan yang jelas namun dijalani dengan hati yang sombong akan membuat si petualang tersesat dari tujuan yang sebenarnya. Rasa sombong pada diri manusia dapat membuat manusia itu tidak sadar akan keberadaannya sebagai makhluk yang lemah, sangat terbatas dan saling membutuhkan satu dengan yang lainnya.
Nama-nama yang tercatat dalam sejarah karena prestasinya tentunya mereka awalnya adalah nama-nama yang tidak sama sekali dikenal. Namun, karena mereka yang memiliki kerendahan hati hingga tidak merasa malu untuk bertanya dan bertanya sampai terpuaskan akalnya. Bertanya merupakan senjata canggih untuk seorang pencari kebenaran. Berjalan di permukaan bumi memang butuh kehati-hatian serta membutuhkan keberanian yang kuat. Fokus dengan tujuan hidup seharusnya disadari para petualang kehidupan Karena hidup hanya sekali dan takkan terulang lagi. Oleh karena itu, kalimat terakhir “Bertanyalah agar kamu tidak tersesat di dunia”.

Sabtu, 05 Oktober 2013

PERASAAN YANG SEMPAT TERLUKISKAN

Aku teringat masa kecilku, masa dimana aku harus belajar keras untuk tumbuh dewasa. Di kampung aku yang tersembunyi di antara deretan pegunungan menjadi saksi bisu aku memulai karya kehidupan. Setiap pagi aku selalu bertanya pada mama, “ma...kapan aku bisa masuk sekolah?, oh iya lihat ma..aku sudah bisa menulis dengan baik”. Mama menjawab, “sabar yach nak sebentar lagi kamu pasti cukup umur untuk bisa masuk sekolah”. Mama selalu tertawa setiap kali aku bertanya karena ternyata tulisan yang aku berikan padanya adalah tulisan dengan huruf terbalik. Di ulang tahunku yang ke-8 aku mendapatkan pena kecil dan buku gambar hadiah dari ayahku. Aku gunakan kedua alat itu untuk melukiskan perasaanku ketika mengalami pristiwa-pristiwa tidak menyenangkan di sekolah. Di sekolah yang berada sekitar sepuluh meter dari rumahku, aku dengan teman-teman sepermainanku kadang menyempatkan diri untuk menulis impian-impian indah di helai daun-daunan pohon kembang sepatu milik warga di dekat sekolah. Teng...teng...teng...bunyi bell sekolah pertanda jadwal belajar selesai. Aku kecewa sepulang dari sekolah karena menyaksikan adik kecilku yang baru belajar merayap merobek-robek buku gambar kesayanganku. Rasanya hatiku seperti dirobek-robek seperti dirobek-robeknya buku gambarku. Karena tidak tahan akhirnya aku pun ngambek kepada semua orang-orang di sekitarku. Menginjak masa-masa remaja dimana aku selalu merasa aneh ketika berhadapan dengan teman-teman yang berlainan jenis denganku. Aku heran dengan perasaanku sendiri karena kadanng tiba-tiba marah, tiba-tiba sedih, tiba-tiba serius. Aku tidak ingin melewatkan kesempatan itu untuk menuliskan semua perasaanku di sebuah buku yang aku sebut-sebut sebagai “buku deary”. Buku deary itu menjadi teman curhatku sekaligus menjadi tempat aku belajar bagaimana menjadi sesosok manusia yang dikagumi manusia lainnya. Suatu hari buku dearyku hilang dari tumpukan buku-buku mata pelajaran sekolah. Dengan wajah yang penuh kepura-puraan, aku mendatangi rumah temanku dengan harapan rasa khawatir dengan terbongkarnya rahasia-rahasia di deary itu hilang dari benakku. Namun, fakta berbicara lain. Rumah teman yang aku datangi kudapatkan dearyku berserakan di antara buku-buku pelajarannya. Temanku tersenyum lebar melihatku sambil geleng-geleng kepala. Aku marah dalam hati, aku jengkel, aku takut, dan aku malu sekali hingga tanpa pamit akupun pergi dari rumah itu. Sejak itu aku bersumpah tidak akan pernah lagi menuliskan rahasia-rahasia perasaanku di dalam sebuah buku. Masa putih abu-abu adalah masa yang terunik dari semuanya. Sumpah yang selalu menghantuiku membuat aku terkurung dalam sebuah penjara impian. Aku harus menjadi orang yang tahan akan beban perasaan yang tak bisa terlukiskan dalam sebuah buku. Bertahan begitu lama aku berusaha tidak memuntahkan isi hatiku hingga tiba masanya dia bergejolak memaksaku untuk mengeluarkannya. Penyesalan paling berat kurasakan karena telah mengucapkan sumpah yang justru menyakiti hatiku. Aku melanggar sumpah itu dengan membukukan semua peraasaanku yang lama terpendam di dalam sebuah buku yang agak unik. Buku itu kembali kusebut sebagai buku deary namun memiliki ukuran yang kecil dan dibumbuhi dengan lukisan-lukisan sebagai deskripsi perasaan hati. Buku unik yang satu-satunya senjataku setia menemani hingga tiba di zona kebebasan. Semua orang berusaha menjadi petarung yang terbaik. Mereka masing-masing memiliki jurus-jurus andalan dan senjata-senjata unik untuk melawan. Menyaksikan orang-orang menjadi terbaik membuat aku panas. Suatu kalor yang dasyat muncul dari dalam hati telah membakar semangat jiwaku. Aku ingin bergerak menjadi petarung professional. Meskipun dalam perjalanannya telah aku ketahui akan menemukan beberapa kegagalan namun itu tdak akan menyurutkan niatku. Seseorang akan rugi besar jika dia mengorbankan waktunya sekian lama lalu kemudian mengakhirinya sesaat. Gelar Agen Of Change adalah gelar yang menjadi motivasiku. Aku tidak ingin menjadi penghianat di antara mereka yang membutuhkan. Perasaan-perasaan yang aku lukiskan dalam sebuah buku semoga dapat menjadi pengantar kepada mereka yang akan melakukan perubahan.