TUMBAL CINTA
Oleh: Elzehna Zakhwan
Matahari pagi menampakkan wajah
meronanya setelah beberapa hari bersembunyi di balik gerombolan awan. Lastri
tidak ingin melewatkan kesempatan itu, menggunung pakaian di pojok kolam siap
dicucinya. Ia tak ingin menyia-nyiakan masa libur ujian nasional. Akhir-akhir
ini ia sibuk membantu ibunya membereskan rumah dan tak jarang hanya sendiri
menyelesaikan pekerjaan itu.
“Tri serius amat, udah libur yach?”.
Tanya Zaid muncul secara tiba-tiba di balik kolam. Kedatangannya memecahkan
kesunyian Lastri yang hanya diam membisu dengan tumpukan cucian.
“Zaid, ada apa?”. Tanya balik Lastri
pada sahabat karibnya dengan wajah sedikit lesu, sementara kedua tangan yang
penuh buih detergen mengusap wajahnya agar tidak tampak kusam di depan Zaid.
“Tri bagaimana hubunganmu dengan
Anton?”. Pertanyaan dilontarkan Zaid agak memancing.
“Saya mohon padamu, tak usah kamu
ungkit-ungkit masalah itu, aku bosan membahasnya”. Tegasnya Lastri mengecam
dirinya tak ingin kembali ke masa lalunya yang suram. Sudah cukup masalah itu
menyisakan luka mendalam baginya.
“Kamu tidak berminat datang menjenguk
Anton di penjara?”. Zaid sepertinya belum puas dengan jawaban Lastri.
Tidak jauh beda dengan dirinya ketika
masih satu atap sekolah dengan Lastri, gemar sekali mengganggu teman-teman
sekolahnya dengan pertanyaan-pertanyaan konyol.
“Sudah...Sudah... Cukup, untuk apa kau
ajak aku ke penjara, ingat! Aku dan Anton udah putus. Aku dan dia tak ada
hubungan apa-apa lagi titik, camkan itu Zaid!”. Bentak Lastri mempertajam jawabannya
ke zaid. Ia sejujurnya tak ingin dihantui oleh pertanyaan sahabatnya yang
sedikit menguras pikiran itu. Zaid lalu pergi tanpa pamit, kepergiannya membuat
Lastri meneteskan air mata hingga menjatuhi buih-buih yang berserakan di sela-sela
kain. Rasa bersalah telah mengusir sahabatnya membuat ia tak bisa tenang.
Namun, ia berusaha keras melupakan pristiwa itu sebagaimana usahanya
melenyapkan Anton dalam benaknya.
Begitu adik-adiknya pulang sekolah,
tak juga ia memohon bantuan mereka. Lastri sadar betul posisinya sebagai anak
sulung dari enam bersaudara, dimana dia memiliki beban di pundaknya untuk
mengarahkan masa depan adek-adeknya. Dia cukup dikenal oleh warga di kampungnya
sebagai anak yang sangat berbakti kepada orang tua. Bukan hanya itu, prestasi-prestasi
yang pernah ia torehkan dalam sejarah hidupnya membuat sebagian besar
teman-teman sekolahnya berkeinginan seperti dia.
Lastri terpisah dari kehidupan orang
tuanya saat ia duduk di bangku SMA. Mengawali hidup di tengah-tengah deras arus
modernisasi perkotaan begitu sulit baginya. Apatah lagi ia seorang diri
menghuni sebuah kos-kosan yang tempatnya tak jauh dari sekolah.
Semuanya tidak membutuhkan banyak
waktu untuk beradaptasi. Lastri bermetamorfosis di kota menjadi sesosok remaja
dewasa. Dia tampak lebih anggun dan banyak diminati oleh laki-laki.
“Tri, ngomong-ngomong siapa gebetanmu
sekarang?”. Tanya Ana salah satu anak kelas IPA dengan nada sedikit manja.
“Ich.. apaan sih kamu, aku tak punya
gebetan tau”. Bantah Lastri dengan wajah merah merona, seperti ada udang di
balik batu. Lastri memang tipe gadis yang tak ingin ditahu banyak mengenai seluk beluk kehidupan khasnya.
Menjelang UAS bertaburan tempat-tempat
penimbaan ilmu dibuka. Salah satu tempat kursus bhs. Inggris jarak 100 meter
dari jantung kota menjadi diminati siswa-siswi skala SMA. Lastri salah satu
tercetak sebagai anggota, meskipun ia sering mendapat teguran dari tantenya
sebab sering telat kembali ke kos. Di sana ia berkenalan dengan Dedy yang
merupakan satu-satunya peserta ekstra alias non SMA. Dedy sementara menekuni
tugasnya sebagai Arsiptor di sebuah kantor polisi di pusat kota. Perkenalannya
dengan Lastri menumbuhkan benih-benih cinta. Tak jarang Lastri merengek-rengek kepada Dedy
untuk diarsipkan tugas-tugas sekolahnya. Romantisme cinta mereka sering
dibumbuhi dengan pertengkaran-pertengkaran anak ingusan.
“Dy, antar aku ke rumah teman yuuk,
aku ada kerja kelompok”. Pinta Lastri dengan suara manja dari balik Handpone
Nokia.
“Aduch... gimana yach dik, bukannya
tidak mau tapi aku sementara bertugas, kumohon adik mengerti”. Jawab singkat
Dedy di inbox Handpone Lastri seolah berusaha keras meyakinkan Lastri agar
tidak salah paham lagi.
“Yach sudahlah, selamat bekerja kak!
Oya kak minggu depan aku libur Ramadhan so untuk sementara kita mungkin jarang
ketemu”. Tegasnya.
Libur ramadhan kali ini membuat hati
Lastri sungguh riang. Kepulangannya di kampung sangat ditunggu-tunggu oleh
keluarganya. Ia seperti bunga desa yang masih mekar belum tersentuh oleh
kumbang. Di antara lima kawan SDnya, hanya dia yang belum memasuki gerbang
pelaminan. Padahal dua tiga perjaka telah datang hendak meminangnya, namun ia
menolak dengan alasan pendidikan. Malam-malam sakral di bulan ramadhan
dianggapnya menjadi peluang bermunajat kepada Yang Esa demi pinta masa depan
gemilang. Namun, ada beberapa malam yang ia terpaksa alpa dari pemunajatan,
sebab datangnya tamu tak di undang dari Allah untuk wanita telah baliq.
“Assalamu alaikum. Dengan Lastri, maaf
mengganggu kenalkan nama saya Anton”. Suara seorang pemuda mengaku dirinya
Anton dari balik handpone.
“Waalaikum salam, iya betul saya
Lastri, ada apa yach n tau dari mana nomor ini?”. Tanyanya dengan nada agak
heran, sembari meluruskan punggungnya di tumpukan bantal guling.
“Saya ambil nomornya adek dari
sepupuku yang baru aja menikah dengan
Omnya adek, saya tidak bermaksud apa-apa, saya hanya ingin mengenal adek lebih
dekat”. Tutur Anton memperjalas jati
dirinya.
“Tut...tut...tut..”. Seketika
perbincangan perdana itu berhenti. Jaringan sepertinya tidak bersahabat dengan
mereka.
Kini Anton menjadi bunga-bunga tidur
Lastri. Meskipun tampannya belum tersaksikan oleh mata namun suara Anton dengan
sikap kewibawaannya terdeteksi lewat handpone gemgaman. Dedy yang mungkin di
luar sana masih sibuk dengan tugas-tugasnya lenyap seketika dari gubuk hatinya.
Saat musim silaturrahim tiba, ia seolah mencari-cari sesosok misterius itu yang
selama malam-malam ramadhan memenuhi inbox hpnya. Anton sang perjaka misterius
menampakkan dirinya ketika acara pesta pernikahan sedang digelar di rumah Zaid.
Anton ternyata adalah teman akrab Zaid
yang juga merupakan teman akrabnya semenjak di SMP. Anton dikenal oleh
teman-teman SMAnya sebagai pemain terhebat dari sebuah tim basket. Tatapan dua
insang bak ion negatif dan positif yang saling tarik menarik. Lastri tiba-tiba
ingin melabuhkan hatinya dalam dermaga cinta Anton. Ia sendiri heran mengapa ia
begitu tergetar seperti kesetrum listrik saat memandang watak dari sesosok
pemuda itu. Ia tak mau ambil pusing ketika Anton menembak hatinya dengan panah
cinta, ia menerima begitu saja tanpa bersyarat. Hubungan mereka berjalan
serius. Bahkan mereka mengikrarkan janji menuju ke gerbang plaminan.
Hari libur anak-anak bangsa diwarnai
dengan pentas-pentas maupun lomba-lomba. Pertandingan basket di jantung kota
akan digelar antar siswa SMA sekabupaten. Tentunya Anton sang raja basket yang
telah melumpuhkan beberapa tim basket lainnya tak akan melewatkan kesempatan
itu. Apatah lagi kali ini ada Lastri yang setia mensupornya. Lagi-lagi tim
basket Anton memborong piala basket untuk tahun ini, hal ini menjadi
keistimewahan tersendiri bagi cinta mereka berdua. Seperti biasa ternyata Anton
dan kawand-kawand timnya merayakan kemenangannya di salah satu rumah personil
tim basketnya.
“Tri, malam mini aku jemput yach, aku
ingin mengajak kamu makan-makan untuk merayakan kemenangan tim basketku “.
Ajakan Anton berupaya meluluhkan hati gadis pujaannya.
“Boleh, lagipula aku malam ini aku
kosong”. Tutur Lastri menerima ajakan Anton.
Ditengah perjalanan motor Ninja yang
mereka kendarai tiba-tiba mogok. Tak ada rumah dan hanya ada semak belukar di
tempat itu. Entah mengapa Anton yang selama ini Lastri kenal sebagai laki-laki
baik-baik berubah seketika menjadi menyeramkan. Ia mendekap tubuh Lastri dengan
erat hingga tak membiarkannya lolos.
“Anton lepaskan saya, jangan
macam-macam yach kamu, aku bisa berteriak sekencang-kencangnya dari sini”. Ancam
Lastri dengan tubuh gemetaran. Ia memberanikan diri menampar pipi Anton yang
mulai beraksi aneh-aneh terhadapnya.
“Jangan sok suci Tri, kita lakukan
saja di sini sebagai bentuk cinta sejati kita, lagipula kan bentar lagi kita
mau menikah, ayolah”. Rayuan Anton semakin menjadi-jadi. Ia tak lagi kasihan
dengan desahan lastri yang jatuh dipelukannya.
Lastri berdoa kepada Yang Esa untuk
dilindungi kesuciannya malam itu. Bersenjatakan balok berukuran setengah meter,
ia berhasil lolos dari dekapan tubuh Anton. Ia berlari tergopoh-gopoh
menelusuri ruas-ruas jalan. Jantungnya berdegup kencang khawatir Anton
mengikuti jejak langkahnya.
“Ya Allah, terima kasih Engkau masih
menolongku. Aku tak bisa bayangkan jika kesucianku terenggut oleh laki-laki
bejat itu”. Ucap Lastri sambil menangis terisak-isak.
Peristiwa itu selalu menghantui
pikirannya hingga tak bisa memejamkan mata semalaman. Ia berubah menjadi gadis
pendiam di kelas sampai semua temannya heran. Trauma yang dialaminya menjadikan
ia tak bisa bercanda lagi dengan laki-laki meskipun itu sepupunya sendiri.
Termasuk Dedy yang menjadi korban traumanya, ia seperti tak kenal siapa Dedy
itu.
“Maafkan aku Tri, aku tidak bermaksud
melukai perasaanmu malam itu. Aku melakukan itu karena aku cinta mati”. Inbox
si laki-laki bejat itu datang lagi. Tidak kapok-kapoknya ia menyibak hati
Lastri.
“Oke.. aku mengerti, sebutlah aku
laki-laki iblis. Satu pintaku lupakan aku dari pikiranmu, anggap saja aku dan
kamu tak pernah bertemu. Dari awal aku sudah katakan padamu aku laki-laki tak
pantas untuk kau miliki, aku cukup tau diri sebagai seorang laki-laki namun
bukankah dirimu sendiri yang memintaku mencintaimu kala itu. Maka lihatlah
wajah asliku, semoga kamu bertemu dengan jalanmu yang larus, Tri. Sekali
maafkan aku3X”. Jelas Anton dalam inbox Lastri. Ia tidak jauh beda dengan
dirinya yang dulu ketika awal bertemu dengan Lastri. Ia selalu menampakkan
dirinya yang baik di dunia maya namun dirinya di dunia nyata sungguh berbeda
jauh bak langit dan bumi.
“BBoodooh........”. Teriak Lastri
menggemparkan seisi ruangan kelasnya. Teman-teman kelasnya semakin diliputi
rasa penasaran tentang dia. Sering kali ia berbicara sendiri, tertawa sendiri
dan menangis tanpa sebab.
“Assalamu alaikum, ada apa denganmu
saudariku, aku melihatmu akhir-akhir ini murung aja?”. Sapa Winda selaku ketua
Rohis di SMA itu. Ia berupaya mendekati Lastri sembari menjadi teman curhatnya.
Tak sepatah pun kata keluar dari mulut
Lastri. Tetes demi tetes air matanya bercucuran hingga membasahi kertas buram
di tangannya. Ia tampak berharap Winda merangkulnya dalam batinnya yang suci.
“Ajari aku mencintai Allah Win?”.
Pinta Lastri dalam tangisnya.
“Dengan senang hati ukhty, sungguh
sangat bahagia diriku bisa berkawan denganmu”. Tutur Winda.
“Saya juga Win, aku beruntung bisa
mengenalmu. Win, kali ini aku memiliki tekad bulat akan berubah, aku kan
menggunakan hijab syar’i dan aku kan senantiasa belajar Islam”. Ucap Lastri penuh
harapan pada Winda. Wajahnya yang kusam seketika beralih menjadi bening
bercahaya. Matanya berbinar-binar, tubuhnya yang loyo dan lemas menjadi bugar
kembali.
“Subhanallah, semoga Allah senantiasa
memberikan petunjuk kepada ukhty hingga itu tidak sekedar tekad saja, Amin”.
Jelasnya Winda meyakinkan hati Lastri untuk berubah.
Lastri yang dulu lenyap diterbangkan
angin berlalu. Dia berubah menjadi sesosok muslimah yang anggun. Laki-laki tak
lagi berani mendekatinya tanpa ada prihal penting. Orang tuanya di kampung ikut
senang mendengar kabar anaknya gemar belajar Islam. Lastri tidak hanya sibuk
memoles dirinya dengan siraman-siraman kajian, namun terlebih dari itu ia juga
bermurah hati menyampaikan ilmunya ke orang-orang sekitarnya. Kenangan-kengan
pahit masa lalu terkadang ia jadikan bahan pelajaran untuk mengingatkan
teman-teman perempuannya agar tidak terjerumus ke lubang yang sama.
“Lastri yang dulu, kukubur dirimu
dalam lembaran-lembaran hitam. Aku berharap engkau tidak gentayangan dan
menghantuiku setiap hari. Lastri yang sekarang menemukan setitik cahaya dalam
lembaran baru. Ia akan menjadi pelita bagi gelapnya dunia sekitarnya”.
Berpatah-patah kata Lastri torehkan dalam buku hariannya.
Beberapa bulan kemudian terdengar
kabar memilukan dari Zaid sahabat karibnya. Anton si laki-laki bejat itu masuk
penjara bersama dengan lima teman-teman tim basketnya. Mereka dijerat kasus
pemerkosaan terhadap gadis cilik yang masih berusia belasan di sebuah rumah tak
berpenghuni. Kejadiannya tepat malam saat mereka merayakan kemenangan tim
basketnya. Pemerkosaan itu berlangsung ketika mereka dalam keadaan mabuk-mabukan,
sementara gadis yang menjadi korbannya itu diculik dari depan jalan tempat
mereka berpesta.
“Ya Allah kasihan gadis itu. Ternyata
aku nyaris seperti dia, dimana malam itu aku juga sempat diajak ke tempat yang
sama”. Bisik Lastri dalam hati.
“Allahu Akbar, Subhanallah, Maha Besar
Engkau Ya Allah telah melindungiku”. Lastri tak henti-hentinya memuji Allah
Sang Pencipta Alam Semesta sebagai tanda syukurnya telah diselamatkan dari
kejadian kala itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar