Jumat, 17 Januari 2014

TUMBAL CINTA


TUMBAL CINTA
Oleh: Elzehna Zakhwan
Matahari pagi menampakkan wajah meronanya setelah beberapa hari bersembunyi di balik gerombolan awan. Lastri tidak ingin melewatkan kesempatan itu, menggunung pakaian di pojok kolam siap dicucinya. Ia tak ingin menyia-nyiakan masa libur ujian nasional. Akhir-akhir ini ia sibuk membantu ibunya membereskan rumah dan tak jarang hanya sendiri menyelesaikan pekerjaan itu.
“Tri serius amat, udah libur yach?”. Tanya Zaid muncul secara tiba-tiba di balik kolam. Kedatangannya memecahkan kesunyian Lastri yang hanya diam membisu dengan tumpukan cucian.
“Zaid, ada apa?”. Tanya balik Lastri pada sahabat karibnya dengan wajah sedikit lesu, sementara kedua tangan yang penuh buih detergen mengusap wajahnya agar tidak tampak kusam di depan Zaid.
“Tri bagaimana hubunganmu dengan Anton?”. Pertanyaan dilontarkan Zaid agak memancing.
“Saya mohon padamu, tak usah kamu ungkit-ungkit masalah itu, aku bosan membahasnya”. Tegasnya Lastri mengecam dirinya tak ingin kembali ke masa lalunya yang suram. Sudah cukup masalah itu menyisakan luka mendalam baginya.
“Kamu tidak berminat datang menjenguk Anton di penjara?”. Zaid sepertinya belum puas dengan jawaban Lastri. Tidak  jauh beda dengan dirinya ketika masih satu atap sekolah dengan Lastri, gemar sekali mengganggu teman-teman sekolahnya dengan pertanyaan-pertanyaan konyol.
“Sudah...Sudah... Cukup, untuk apa kau ajak aku ke penjara, ingat! Aku dan Anton udah putus. Aku dan dia tak ada hubungan apa-apa lagi titik, camkan itu Zaid!”. Bentak Lastri mempertajam jawabannya ke zaid. Ia sejujurnya tak ingin dihantui oleh pertanyaan sahabatnya yang sedikit menguras pikiran itu. Zaid lalu pergi tanpa pamit, kepergiannya membuat Lastri meneteskan air mata hingga menjatuhi buih-buih yang berserakan di sela-sela kain. Rasa bersalah telah mengusir sahabatnya membuat ia tak bisa tenang. Namun, ia berusaha keras melupakan pristiwa itu sebagaimana usahanya melenyapkan Anton dalam benaknya.
Begitu adik-adiknya pulang sekolah, tak juga ia memohon bantuan mereka. Lastri sadar betul posisinya sebagai anak sulung dari enam bersaudara, dimana dia memiliki beban di pundaknya untuk mengarahkan masa depan adek-adeknya. Dia cukup dikenal oleh warga di kampungnya sebagai anak yang sangat berbakti kepada orang tua. Bukan hanya itu, prestasi-prestasi yang pernah ia torehkan dalam sejarah hidupnya membuat sebagian besar teman-teman sekolahnya berkeinginan seperti dia.
Lastri terpisah dari kehidupan orang tuanya saat ia duduk di bangku SMA. Mengawali hidup di tengah-tengah deras arus modernisasi perkotaan begitu sulit baginya. Apatah lagi ia seorang diri menghuni sebuah kos-kosan yang tempatnya tak jauh dari sekolah.
Semuanya tidak membutuhkan banyak waktu untuk beradaptasi. Lastri bermetamorfosis di kota menjadi sesosok remaja dewasa. Dia tampak lebih anggun dan banyak diminati oleh laki-laki.
“Tri, ngomong-ngomong siapa gebetanmu sekarang?”. Tanya Ana salah satu anak kelas IPA dengan nada sedikit manja.
“Ich.. apaan sih kamu, aku tak punya gebetan tau”. Bantah Lastri dengan wajah merah merona, seperti ada udang di balik batu. Lastri memang tipe gadis yang tak ingin ditahu  banyak mengenai seluk beluk kehidupan khasnya.
Menjelang UAS bertaburan tempat-tempat penimbaan ilmu dibuka. Salah satu tempat kursus bhs. Inggris jarak 100 meter dari jantung kota menjadi diminati siswa-siswi skala SMA. Lastri salah satu tercetak sebagai anggota, meskipun ia sering mendapat teguran dari tantenya sebab sering telat kembali ke kos. Di sana ia berkenalan dengan Dedy yang merupakan satu-satunya peserta ekstra alias non SMA. Dedy sementara menekuni tugasnya sebagai Arsiptor di sebuah kantor polisi di pusat kota. Perkenalannya dengan Lastri menumbuhkan benih-benih cinta. Tak  jarang Lastri merengek-rengek kepada Dedy untuk diarsipkan tugas-tugas sekolahnya. Romantisme cinta mereka sering dibumbuhi dengan pertengkaran-pertengkaran anak ingusan.
“Dy, antar aku ke rumah teman yuuk, aku ada kerja kelompok”. Pinta Lastri dengan suara manja dari balik Handpone Nokia.
“Aduch... gimana yach dik, bukannya tidak mau tapi aku sementara bertugas, kumohon adik mengerti”. Jawab singkat Dedy di inbox Handpone Lastri seolah berusaha keras meyakinkan Lastri agar tidak salah paham lagi.
“Yach sudahlah, selamat bekerja kak! Oya kak minggu depan aku libur Ramadhan so untuk sementara kita mungkin jarang ketemu”. Tegasnya.
Libur ramadhan kali ini membuat hati Lastri sungguh riang. Kepulangannya di kampung sangat ditunggu-tunggu oleh keluarganya. Ia seperti bunga desa yang masih mekar belum tersentuh oleh kumbang. Di antara lima kawan SDnya, hanya dia yang belum memasuki gerbang pelaminan. Padahal dua tiga perjaka telah datang hendak meminangnya, namun ia menolak dengan alasan pendidikan. Malam-malam sakral di bulan ramadhan dianggapnya menjadi peluang bermunajat kepada Yang Esa demi pinta masa depan gemilang. Namun, ada beberapa malam yang ia terpaksa alpa dari pemunajatan, sebab datangnya tamu tak di undang dari Allah untuk wanita telah baliq.
“Assalamu alaikum. Dengan Lastri, maaf mengganggu kenalkan nama saya Anton”. Suara seorang pemuda mengaku dirinya Anton dari balik handpone.
“Waalaikum salam, iya betul saya Lastri, ada apa yach n tau dari mana nomor ini?”. Tanyanya dengan nada agak heran, sembari meluruskan punggungnya di tumpukan bantal guling.
“Saya ambil nomornya adek dari sepupuku yang  baru aja menikah dengan Omnya adek, saya tidak bermaksud apa-apa, saya hanya ingin mengenal adek lebih dekat”. Tutur  Anton memperjalas jati dirinya.
“Tut...tut...tut..”. Seketika perbincangan perdana itu berhenti. Jaringan sepertinya tidak bersahabat dengan mereka.
Kini Anton menjadi bunga-bunga tidur Lastri. Meskipun tampannya belum tersaksikan oleh mata namun suara Anton dengan sikap kewibawaannya terdeteksi lewat handpone gemgaman. Dedy yang mungkin di luar sana masih sibuk dengan tugas-tugasnya lenyap seketika dari gubuk hatinya. Saat musim silaturrahim tiba, ia seolah mencari-cari sesosok misterius itu yang selama malam-malam ramadhan memenuhi inbox hpnya. Anton sang perjaka misterius menampakkan dirinya ketika acara pesta pernikahan sedang digelar di rumah Zaid. Anton  ternyata adalah teman akrab Zaid yang juga merupakan teman akrabnya semenjak di SMP. Anton dikenal oleh teman-teman SMAnya sebagai pemain terhebat dari sebuah tim basket. Tatapan dua insang bak ion negatif dan positif yang saling tarik menarik. Lastri tiba-tiba ingin melabuhkan hatinya dalam dermaga cinta Anton. Ia sendiri heran mengapa ia begitu tergetar seperti kesetrum listrik saat memandang watak dari sesosok pemuda itu. Ia tak mau ambil pusing ketika Anton menembak hatinya dengan panah cinta, ia menerima begitu saja tanpa bersyarat. Hubungan mereka berjalan serius. Bahkan mereka mengikrarkan janji menuju ke gerbang plaminan.
Hari libur anak-anak bangsa diwarnai dengan pentas-pentas maupun lomba-lomba. Pertandingan basket di jantung kota akan digelar antar siswa SMA sekabupaten. Tentunya Anton sang raja basket yang telah melumpuhkan beberapa tim basket lainnya tak akan melewatkan kesempatan itu. Apatah lagi kali ini ada Lastri yang setia mensupornya. Lagi-lagi tim basket Anton memborong piala basket untuk tahun ini, hal ini menjadi keistimewahan tersendiri bagi cinta mereka berdua. Seperti biasa ternyata Anton dan kawand-kawand timnya merayakan kemenangannya di salah satu rumah personil tim basketnya.
“Tri, malam mini aku jemput yach, aku ingin mengajak kamu makan-makan untuk merayakan kemenangan tim basketku “. Ajakan Anton berupaya meluluhkan hati gadis pujaannya.
“Boleh, lagipula aku malam ini aku kosong”. Tutur Lastri menerima ajakan Anton.
Ditengah perjalanan motor Ninja yang mereka kendarai tiba-tiba mogok. Tak ada rumah dan hanya ada semak belukar di tempat itu. Entah mengapa Anton yang selama ini Lastri kenal sebagai laki-laki baik-baik berubah seketika menjadi menyeramkan. Ia mendekap tubuh Lastri dengan erat hingga tak membiarkannya lolos.
“Anton lepaskan saya, jangan macam-macam yach kamu, aku bisa berteriak sekencang-kencangnya dari sini”. Ancam Lastri dengan tubuh gemetaran. Ia memberanikan diri menampar pipi Anton yang mulai beraksi aneh-aneh terhadapnya.
“Jangan sok suci Tri, kita lakukan saja di sini sebagai bentuk cinta sejati kita, lagipula kan bentar lagi kita mau menikah, ayolah”. Rayuan Anton semakin menjadi-jadi. Ia tak lagi kasihan dengan desahan lastri yang jatuh dipelukannya.
Lastri berdoa kepada Yang Esa untuk dilindungi kesuciannya malam itu. Bersenjatakan balok berukuran setengah meter, ia berhasil lolos dari dekapan tubuh Anton. Ia berlari tergopoh-gopoh menelusuri ruas-ruas jalan. Jantungnya berdegup kencang khawatir Anton mengikuti jejak langkahnya.
“Ya Allah, terima kasih Engkau masih menolongku. Aku tak bisa bayangkan jika kesucianku terenggut oleh laki-laki bejat itu”. Ucap Lastri sambil menangis terisak-isak.
Peristiwa itu selalu menghantui pikirannya hingga tak bisa memejamkan mata semalaman. Ia berubah menjadi gadis pendiam di kelas sampai semua temannya heran. Trauma yang dialaminya menjadikan ia tak bisa bercanda lagi dengan laki-laki meskipun itu sepupunya sendiri. Termasuk Dedy yang menjadi korban traumanya, ia seperti tak kenal siapa Dedy itu.
“Maafkan aku Tri, aku tidak bermaksud melukai perasaanmu malam itu. Aku melakukan itu karena aku cinta mati”. Inbox si laki-laki bejat itu datang lagi. Tidak kapok-kapoknya ia menyibak hati Lastri.
“Oke.. aku mengerti, sebutlah aku laki-laki iblis. Satu pintaku lupakan aku dari pikiranmu, anggap saja aku dan kamu tak pernah bertemu. Dari awal aku sudah katakan padamu aku laki-laki tak pantas untuk kau miliki, aku cukup tau diri sebagai seorang laki-laki namun bukankah dirimu sendiri yang memintaku mencintaimu kala itu. Maka lihatlah wajah asliku, semoga kamu bertemu dengan jalanmu yang larus, Tri. Sekali maafkan aku3X”. Jelas Anton dalam inbox Lastri. Ia tidak jauh beda dengan dirinya yang dulu ketika awal bertemu dengan Lastri. Ia selalu menampakkan dirinya yang baik di dunia maya namun dirinya di dunia nyata sungguh berbeda jauh bak langit dan bumi.
“BBoodooh........”. Teriak Lastri menggemparkan seisi ruangan kelasnya. Teman-teman kelasnya semakin diliputi rasa penasaran tentang dia. Sering kali ia berbicara sendiri, tertawa sendiri dan menangis tanpa sebab.
“Assalamu alaikum, ada apa denganmu saudariku, aku melihatmu akhir-akhir ini murung aja?”. Sapa Winda selaku ketua Rohis di SMA itu. Ia berupaya mendekati Lastri sembari menjadi teman curhatnya.
Tak sepatah pun kata keluar dari mulut Lastri. Tetes demi tetes air matanya bercucuran hingga membasahi kertas buram di tangannya. Ia tampak berharap Winda merangkulnya dalam batinnya yang suci.
“Ajari aku mencintai Allah Win?”. Pinta Lastri dalam tangisnya.
“Dengan senang hati ukhty, sungguh sangat bahagia diriku bisa berkawan denganmu”. Tutur Winda.
“Saya juga Win, aku beruntung bisa mengenalmu. Win, kali ini aku memiliki tekad bulat akan berubah, aku kan menggunakan hijab syar’i dan aku kan senantiasa belajar Islam”. Ucap Lastri penuh harapan pada Winda. Wajahnya yang kusam seketika beralih menjadi bening bercahaya. Matanya berbinar-binar, tubuhnya yang loyo dan lemas menjadi bugar kembali.
“Subhanallah, semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk kepada ukhty hingga itu tidak sekedar tekad saja, Amin”. Jelasnya Winda meyakinkan hati Lastri untuk berubah.
Lastri yang dulu lenyap diterbangkan angin berlalu. Dia berubah menjadi sesosok muslimah yang anggun. Laki-laki tak lagi berani mendekatinya tanpa ada prihal penting. Orang tuanya di kampung ikut senang mendengar kabar anaknya gemar belajar Islam. Lastri tidak hanya sibuk memoles dirinya dengan siraman-siraman kajian, namun terlebih dari itu ia juga bermurah hati menyampaikan ilmunya ke orang-orang sekitarnya. Kenangan-kengan pahit masa lalu terkadang ia jadikan bahan pelajaran untuk mengingatkan teman-teman perempuannya agar tidak terjerumus ke lubang yang sama.
“Lastri yang dulu, kukubur dirimu dalam lembaran-lembaran hitam. Aku berharap engkau tidak gentayangan dan menghantuiku setiap hari. Lastri yang sekarang menemukan setitik cahaya dalam lembaran baru. Ia akan menjadi pelita bagi gelapnya dunia sekitarnya”. Berpatah-patah kata Lastri torehkan dalam buku hariannya.
Beberapa bulan kemudian terdengar kabar memilukan dari Zaid sahabat karibnya. Anton si laki-laki bejat itu masuk penjara bersama dengan lima teman-teman tim basketnya. Mereka dijerat kasus pemerkosaan terhadap gadis cilik yang masih berusia belasan di sebuah rumah tak berpenghuni. Kejadiannya tepat malam saat mereka merayakan kemenangan tim basketnya. Pemerkosaan itu berlangsung ketika mereka dalam keadaan mabuk-mabukan, sementara gadis yang menjadi korbannya itu diculik dari depan jalan tempat mereka berpesta.
“Ya Allah kasihan gadis itu. Ternyata aku nyaris seperti dia, dimana malam itu aku juga sempat diajak ke tempat yang sama”. Bisik Lastri dalam hati.
“Allahu Akbar, Subhanallah, Maha Besar Engkau Ya Allah telah melindungiku”. Lastri tak henti-hentinya memuji Allah Sang Pencipta Alam Semesta sebagai tanda syukurnya telah diselamatkan dari kejadian kala itu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar