Jumat, 17 Januari 2014

PRO & KONTRA PEMILU 2014


PRO DAN KONTRA PEMILU 2014
Oleh: Elzehna Zakhwan
Pemilu 2014 sudah di depan mata. Suhu panas tahun politik 2014 terasa sejak tahun 2013 dengan menyeruaknya isu-isu kegaduhan dalam tubuh parpol. Akibatnya tak jarang elit politik yang akan maju sebagai capres menuai kontroversi pro dan kontra di kalangan masyarakat. Menurut Wimar Witoelar menyatakan bahwa  pemilihan dalam pemilu sebelumnya, ada 43% suara yang tidak menentukan pilihannya, sementara  partai pemenang pemilu hanya meraih 33%.
Kita melihat beberapa capres antusias melakukan pendekatan kepada masyarakat demi merebut suara terbanyak. Misalnya yang dilakukan oleh Abu Rizal Bakri sebagai capres dari partai Golkar jauh-jauh hari unjuk gigi di media-media, baik dengan bantuan sembako maupun pidato-pidato Islaminya. Masyarakat tidak mampu menerka-nerka siapa yang berhasil meraih suara terbanyak pada tanggal 9 April nanti. Sehingga Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Husni Malik, mengimbau kepada seluruh lapisan masyarakat untuk turut serta berpartisipasi dalam pemilu 2014, agar terpilihnya pemimpin yang bisa membawa Indonesia menuju gerbang kejayaan. 
Di sisi lain, masyarakat sepertinya acuh tak acuh dengan imbauan-imbauan yang ada. Ada perubahan dari taraf  berpikir oleh masyarakat. Mereka belajar dari pemilihan yang lalu, rata-rata elit-elit politik sekedar berjanji manis sebelum meraih kursi pemilu, kemudian setelahnya mereka seakan lupa dengan rakyat yang  memilihnya. Persaingan tidak sehat antar calon-calon yang akan dipilih menorehkan kebingungan di tengah-tengah masyarakat. Bahkan tak jarang berimbas pada kericuhan atau perang saudara karena tidak satu suara. Layaknya tradisi pemilu berulang kembali. Meraih suara dengan mengandalkan pidato-pidato dan bantuan-bantuan material menunjukkan para elit politik tidak kreatif dalam kampanye. Masyarakat bukanlah anak kecil yang gampang dibodoh-bodohi. Mereka yang tetap memilih bisa saja berkhianat, siapa yang memberi bantuan paling banyak maka itulah yang dipilih. Beda halnya yang memilih golput, mereka pada dasarnya sudah bosan dan penak dengan omong kosong para elit politik. Ada juga yang golput karena mereka paham atas efek buruk dari ikut andil memilih orang-orang tidak becus dalam memegang tampuk kekuasaan. Apatah lagi capres-capres yang akan maju sepertinya rata-rata pernah melukis kasus buram di era perpolitikan Indonesia.    
Perubahan yang kita harapkan adalah perubahan yang sifatnya jangka panjang. Hal demikian mustahil terwujud jika sistem ketatanegaraan menggunakan konsep itu-itu saja. Sehingga perlu ada terobosan baru mewujudkan Indonesia sejahtera. Bisa kita katakan harus ada revolusi sistem.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar