PRO DAN KONTRA
PEMILU 2014
Oleh:
Elzehna Zakhwan
Pemilu 2014 sudah di depan mata.
Suhu panas tahun politik 2014 terasa sejak tahun 2013 dengan menyeruaknya
isu-isu kegaduhan dalam tubuh parpol. Akibatnya tak jarang elit politik yang
akan maju sebagai capres menuai kontroversi pro dan kontra di kalangan
masyarakat. Menurut Wimar Witoelar menyatakan bahwa pemilihan dalam pemilu sebelumnya, ada 43%
suara yang tidak menentukan pilihannya, sementara partai pemenang pemilu hanya meraih 33%.
Kita melihat beberapa capres
antusias melakukan pendekatan kepada masyarakat demi merebut suara terbanyak.
Misalnya yang dilakukan oleh Abu Rizal Bakri sebagai capres dari partai Golkar
jauh-jauh hari unjuk gigi di media-media, baik dengan bantuan sembako maupun
pidato-pidato Islaminya. Masyarakat tidak mampu menerka-nerka siapa yang
berhasil meraih suara terbanyak pada tanggal 9 April nanti. Sehingga Ketua
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Husni Malik, mengimbau kepada seluruh lapisan
masyarakat untuk turut serta berpartisipasi dalam pemilu 2014, agar terpilihnya
pemimpin yang bisa membawa Indonesia menuju gerbang kejayaan.
Di sisi lain, masyarakat
sepertinya acuh tak acuh dengan imbauan-imbauan yang ada. Ada perubahan dari
taraf berpikir oleh masyarakat. Mereka
belajar dari pemilihan yang lalu, rata-rata elit-elit politik sekedar berjanji
manis sebelum meraih kursi pemilu, kemudian setelahnya mereka seakan lupa
dengan rakyat yang memilihnya.
Persaingan tidak sehat antar calon-calon yang akan dipilih menorehkan
kebingungan di tengah-tengah masyarakat. Bahkan tak jarang berimbas pada
kericuhan atau perang saudara karena tidak satu suara. Layaknya tradisi pemilu
berulang kembali. Meraih suara dengan mengandalkan pidato-pidato dan
bantuan-bantuan material menunjukkan para elit politik tidak kreatif dalam
kampanye. Masyarakat bukanlah anak kecil yang gampang dibodoh-bodohi. Mereka
yang tetap memilih bisa saja berkhianat, siapa yang memberi bantuan paling
banyak maka itulah yang dipilih. Beda halnya yang memilih golput, mereka pada
dasarnya sudah bosan dan penak dengan omong kosong para elit politik. Ada juga
yang golput karena mereka paham atas efek buruk dari ikut andil memilih
orang-orang tidak becus dalam memegang tampuk kekuasaan. Apatah lagi
capres-capres yang akan maju sepertinya rata-rata pernah melukis kasus buram di
era perpolitikan Indonesia.
Perubahan yang kita harapkan
adalah perubahan yang sifatnya jangka panjang. Hal demikian mustahil terwujud
jika sistem ketatanegaraan menggunakan konsep itu-itu saja. Sehingga perlu ada
terobosan baru mewujudkan Indonesia sejahtera. Bisa kita katakan harus ada
revolusi sistem.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar