Green kampus, kampus hijau atau Univesitas Muslim
Indonesia yang merupakan kampus swasta terbesar di Indonesia timur, dimana
kampus yang sangat identik dengan kampus islami. Begitu juga masyarakat
kampusnya semuanya adalah kaum muslim. Lalu mengapa UMI hari ini dikenal dengan
Demontrasinya yang anarkis, kericuhan, hingga pembunuhanpun hampir mengisi
semua kerusuhan yang terjadi? Apakah ini semua terjadi secara kebetulan atau
pantas kita sebut sebagai tradisi?.
Kita teringat dengan kasus kenaikan BBM yang
membuat hampir semua mahasiswa kampus turun ke jalan untuk meyatakan tolak
kenaikan BBM. Mahasiswa UMI tidak ketinggalan menurunkan massanya di sepanjang
jembatan layang fly over sampai depan kantor Gubernur SULSEL. Demontrasi
berlangsung selama empat hari higga membuat kampus UMI diliburkan untuk
sementara. Saling lempar batu dengan aparat kepolisian, bentrok dengan warga
sekitar UMI yang tidak setuju dengan sikap mahasiswa, bakar-bakar ban hingga
membuat macet jalan mewarnai setiap kali terjadi Demo. Katanya Mahasiswa agent
of change alias orang-orang yang menjadi agen perubah di tengah-tengah
masyarakat, tapi mengapa kerjanya justru meresahkan masyarakat, apa yang mau
dibanggakan oleh masyarakat kepada Mahasiswa UMI? Yang ada justru masyarakat
meratakan masyarakat kampus UMI memiliki jiwa Demonstrasi yang sama, Siapa yang
akan bertanggung jawab? Siapa yang patut disalahkan? Kampus yang salah? Rector?
Dosen? Staf-staf kampus? Atau mahasiswa?. Kasat mata kita mungkin menjawabnya
jelas Mahasiswalah tetapi tidak dipungkiri ada juga yang menjawab pembinanya
alias dosennya sebagai orang yang senantiasa memberikan pengarahan kepada
mahasiswa, ada juga yang mengatakan “Rektornyalah” secara dia sebagai direktur
kampus yang notabene harusnya menggunakan wewenang kepemimpinannya untuk
bersikap tegas. Jika seperti ini, apakah patut kita saling menyalahkan?
Kerusuhan
yang terjadi di kampus UMI seakan drama tak berujung . Sejak pertempuran sengit
antara mahasiswa dengan aparat keamanan atau kepolisian pada tahun 1996 yang
kita kenal bersama hari Amarah atau April berdarah, sepertinya membawa aroma kerusuhan ke
tahun-tahun berikutnya. Akan selalu menjadi pertanyaan besar, apa yang menjadi
permasalahan utamanya? Lalu, ada apa dengan aparat keamanan yang seharusnya
mengamankan namun justru kadang menjadi lawan dari Mahasiswa? Ironis...Pembunuhan
sudah menjadi hal biasa terjadi setiap ada kerusuhan baik itu terjadi di dalam
kampus maupun di luar kampus. Nyawa sepertinya gampang hilang. Korban yang
meninggal dari kerusuhan tentunya menjadi luka mendalam bagi keluarga-keluarga
korban. Bukan hanya itu, rasa ingin balas demdam tentu tidak terbendung lagi
dari teman-teman korban. Pembunuhan ini bisa saja menjadi kasus pembunuhan
berantai yang tak berujung.
Kampus Islami yang seharusnya menjadi teladan bagi
kampus lain hanyalah menjadi sebatas mimpi. Mahasiswa UMI yang setidaknya mampu
membawa nama baik UMI misalnya di berbagai perlombaan antar kampus tidaklah
menjadi perhitungan di mata masyarakat. Peran media menampilkan aksi-aksi
Anarkis Mahasiswa UMI berhasil menjadi sumber informasi terpercaya bagi
masyarakat. Curiga... ada apa dengan Media yang begitu antusias menampilkan
aksi-aksi anarkis mahasiswa? Padahal ada juga ternyata aksi damai yang dilakukan
oleh sebagian mahasiswa termasuk mahasiswa UMI namun tidak ditampilkan di media
atau bahkan tidak samasekali. Tidak jarang UMI menjadi sorotan masyarakat
maupun pihak-pihak dari kampus lain. Bagaimana tidak UMI populer dengan
pesantren Darul Mukhlisin di Padang Lampe Pangkep yang notabene setiap
mahasiswa baru akan dipesantrenkan selama 30 hari. Ada apa dengan Padang lampe?
Mengapa pelajaran Islam yang diseduhkan kepada setiap diri-diri peserta
pesantren tidak bertahan alias tidak mentajasad setelah kepulangannya dari
Padanglampe?. Tidak perlu dipertanyakan lagi berapa kali pemberian materi agama
kepada mahasiswa di setiap kelas-kelas, dan tidak hanya dikelas saja
organisasi-organisasi maupun organda-organda tidak ketinggalan juga memberikan
materi agama kepada kader-kedernya. Terus... apa yang tidak beres dari
pelajaran agama yang diberikan?
Kerusuhan, pembunuhan maupun ketidakberesan yang
terjadi di setiap kampus harusnya membuat kita membuka mata lebar-lebar. Apa
yang tidak beres dengan diri-diri kaum pemuda hari ini? Bukankah pemuda
memiliki peran sebagai agent of change dan tumpuan perubahan itu ada di pundak
pemuda?
Sadar atau tidak sadar kita pantas mengatakan
sistem pendidikan hari ini mengalami kerusakan parah. Pendidikan yang semakin
mahal tidak lagi melahirkan generasi-genarasi berkualitas tetapi sebaliknya
justru melahirkan generasi-generasi yang materialistik. Kapitalisme berhasil
menyebarkan virus-virus pemikirannya ke otak-otak kaum pemuda Indonesia. Dari
kecil kita dididik hanya untuk mencapai tingkat pendidikan yang
setinggi-tingginya sampai bisa terjun ke dunia kerja. Belum lagi kita semakin
dijauhkan dari Islam yang sesungguhnya. Islam hanya diajarkan seadanya alias
hanya sebatas agama spiritual saja. Materi-materi agama Islam yang diseduhkan
sejak dini hingga dewasa hanya berputar-putar pada itu-itu saja. Sehingga tidak
heran kita menyaksikan anak-anak ketika dia tumbuh dewasa sangat cenderung
membebek pada impor-impor orang barat atau orang kafir baik itu berupa makanan,
hiburan maupun model berpakaian. Sementara ketika ditawarkan Islam sebagai
aturan hidup maka hal demikian dianggap asing di mata mereka. Yang perlu
dibenahi bagi diri-diri kaum pemuda hari ini adalah mengubah cara berpikir
mereka dari cara berpikir kapitalistik menjadi cara berpikir islam. Ketika cara
berpikir Islam telah dibangun dengan benar maka akan terbentuk pula pola sikap
Islam yang selalu menjadikan Islam sebagai standar perbuatan. Dengan begitu
seorang pemuda yang mengikuti jalur solusi Islam maka dia akan memiliki rem
dalam berpikir dan berbuat. Pendidikan Islam harusnya yang dinomorstukan bagi
pelajar-pelajar Muslim sehingga mampu mencetak generasi-generasi muslim yang
berkualitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar